Jakarta,- Di tengah riuhnya isu korupsi yang mengemuka di Kalimantan Barat, nama Gubernur Ria Norsan kembali jadi perbincangan hangat. Bukan karena klarifikasi atau pembelaan terhadap isu hukum yang menyeret namanya, melainkan karena kehadirannya di Jakarta—blusukan santai ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bersama rombongan tim suksesnya.
Momen tersebut dengan cepat viral di media sosial. Beberapa menyebutnya sebagai langkah normal kepala daerah yang sedang bertugas. Namun tak sedikit yang mempertanyakan: benarkah ini kunjungan kerja? Atau manuver politik terselubung di tengah badai dugaan korupsi dan tekanan hukum?
Bersama Timses di tengah sorotan
Kehadiran tim sukses dalam kegiatan blusukan gubernur tentu menimbulkan pertanyaan. Apa urgensinya? Apakah ini bagian dari agenda pemerintahan? Ataukah bentuk konsolidasi politik menjelang tahun-tahun politik panas ke depan?
Tak bisa dipungkiri, penggeledahan oleh aparat penegak hukum KPK RI terhadap kantor Dinas PUPR Kabupaten Mempawah dan kasus Balai Pengelola Transportasi Darat (BP2TD) oleh Polda Kalbar menyisakan 1 LP atas nama mantan pejabat tinggi di kabupaten mempawah, beberapa waktu lalu menjadi pukulan besar bagi citra pemerintahan Kalbar. Nama Ria Norsan ikut terseret dalam pusaran tersebut, meski belum ada status hukum yang ditetapkan.
Namun alih-alih tampil untuk menjelaskan atau menenangkan publik Kalbar yang menuntut transparansi, Norsan justru terlihat nyaman “turun ke lapangan” jauh dari daerahnya, ditemani para loyalis yang selama ini dikenal aktif sebagai timses. Apakah ini simbol kekuatan, atau justru bentuk pengabaian terhadap krisis kepercayaan di daerah?
Langkah Politik atau Pencitraan Strategis?
Masuknya Ria Norsan sebagai kader Gerindra juga menambah dimensi politik yang menarik. Di tengah badai, ia justru bergabung dengan partai besar, seolah mengamankan posisi sekaligus menyusun “payung politik” baru yang lebih kuat. Langkah ini dinilai sebagian pengamat sebagai manuver cerdas untuk memperkuat daya tahan terhadap tekanan eksternal—baik dari lawan politik maupun dari lembaga penegak hukum.
Dengan latar ini, kemunculan Ria Norsan dan tim suksesnya di TMII dipandang oleh sebagian kalangan bukan sekadar blusukan biasa, tapi bagian dari rangkaian konsolidasi simbolik: menunjukkan bahwa ia tetap kuat, tetap aktif, tetap punya pendukung setia.
Tapi publik tidak mudah dibungkam oleh pencitraan visual.
Diam di Daerah, Muncul di Jakarta
Sikap diam yang ditunjukkan Ria Norsan di Kalbar terkait isu hukum yang menyeretnya, kontras dengan penampilan terbukanya di Jakarta. Tidak ada konferensi pers, tidak ada audiensi dengan masyarakat Kalbar terkait dugaan kasus yang menyeret nama-nama penting dalam pemerintahannya. Namun ia tampil percaya diri di luar daerah, seolah badai di rumah sendiri bisa dikesampingkan begitu saja.
Pertanyaan besar pun muncul: Apakah ini bentuk penghindaran atau pengalihan isu?
Kuat atau Kebal?
Ria Norsan kini digambarkan oleh pendukungnya sebagai sosok yang “tak tersentuh” dan “tidak tergoyahkan oleh badai isu”. Tapi sebagian publik melihat ini sebagai cerminan bagaimana elit politik di daerah seringkali merasa aman dari jeratan hukum, terutama bila memiliki koneksi kuat ke pusat kekuasaan.
Apakah benar hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas? Apakah kekuasaan politik masih bisa digunakan sebagai tameng dari proses hukum yang seharusnya transparan dan adil?
Kesimpulan: Pertunjukan Kekuatan atau Tanda Ketakutan?
Blusukan Ria Norsan bersama timses ke TMII, di tengah badai yang belum reda di Kalimantan Barat, bukanlah peristiwa biasa. Ia menyampaikan pesan politik yang jelas: “Saya masih di sini. Saya masih kuat.”
Tapi dalam narasi politik modern, tampil kuat bukan berarti bebas dari kesalahan. Publik menuntut lebih dari sekadar kehadiran di media sosial atau tampil tersenyum di depan kamera. Yang ditunggu masyarakat Kalbar adalah transparansi, kejujuran, dan sikap bertanggung jawab terhadap tudingan serius yang beredar.
Karena ketika seorang pemimpin lebih sibuk membangun citra di luar daerah daripada menjawab kegelisahan rakyatnya sendiri, publik berhak curiga.
Dan sejarah menunjukkan: badai bisa datang tiba-tiba. Bahkan untuk mereka yang merasa kebal.
Tim Redaksi