Abdya - Pemadaman listrik yang kembali melanda Aceh, memperlihatkan satu hal yang tak bisa dibantah: Perusahaan Listrik Negara (PLN) kehilangan kendali atas pelayanan publik yang seharusnya ia jaga.
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator LSM KOMPAK Saharuddin, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/11/2025).
Sebulan lalu, kata Saharuddin, Aceh terjerembab dalam gelap selama tiga hari tiga malam. Kerugian yang diderita masyarakat UMKM, pelaku usaha, hingga rumah tangga mengalir tanpa henti. Namun, seperti tak tersentuh persoalan, pemadaman kembali terjadi hari ini. Alasan yang diajukan: gangguan mesin di PLTU Nagan Raya. Alasan yang terdengar terlalu akrab, terlalu sering, dan terlalu mudah diucapkan.
"Sudah sepantasnya publik bertanya: apa yang sebenarnya dikelola oleh PLN?
Jika gangguan demi gangguan terus berulang, publik berhak menduga bahwa yang rusak bukan sekadar mesin, melainkan manajemen," ujarnya.
Menurutnya, Sebagai perusahaan pelayanan publik, PLN terikat kewajiban hukum untuk menjamin kontinuitas layanan. Undang-undang Pelayanan Publik, Undang-undang Ketenagalistrikan, hingga aturan turunan yang ia buat sendiri, menempatkan PLN sebagai institusi yang tak boleh gagal. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: PLN justru abai pada mandat yang diembannya.
"Tak ada yang lebih menggambarkan kegagalan ini selain kasus seorang pengusaha peternakan ayam yang merugi hingga dua miliar rupiah akibat pemadaman sebelumnya. Kompensasi yang dijanjikan PLN tak lebih dari gema kosong. Janji tanpa bentuk, tanpa kepastian," ungkapnya.
Di tengah kekacauan ini, LSM KOMPAK meminta Pemerintah Aceh untuk turun tangan. Seruan itu bukan sebatas protes, melainkan alarm keras bahwa situasi telah mencapai titik genting. Evaluasi terhadap jajaran pimpinan PLN Aceh bukan lagi opsi, melainkan keharusan. PLN tak boleh terus berlindung di balik pagar birokrasi ketika rakyat menjadi korban.
"Karena itu, tuntutan publik semakin masuk akal: PLN harus menyampaikan permintaan maaf secara terbuka selama sepekan melalui seluruh kanal media, sebagai wujud pengakuan atas kegagalan yang nyata. Lebih dari itu, PLN harus mengganti seluruh kerugian masyarakat Aceh, baik kecil maupun besar, karena kerugian itu adalah konsekuensi langsung dari kelalaian yang tak dapat disangkal," pungkasnya.
Dikatakan lagi, Jika kelalaian ini terus berulang, masyarakat Aceh memiliki dasar kuat untuk menempuh gugatan hukum, termasuk class action, terhadap PLN. Hukum memberi ruang, dan situasi memberi alasan.
"Di tengah gelap yang terus menyergap Aceh, publik tak lagi membutuhkan janji. Mereka membutuhkan tanggung jawab. PLN harus menjawabnya dengan tindakan nyata, bukan alasan. Jika tidak, lembaga ini akan kehilangan bukan hanya kepercayaan, tetapi juga legitimasi sebagai penyedia layanan publik," tutupnya.
Laporan : Redaksi

