Oleh: Ardiansyah Direktur NasPol NTB
Mataram, NTB - Pulau Sumbawa semakin hari kian sesak oleh ambisi tambang yang rakus lahan dan abai pada keseimbangan ekosistem. Data perizinan tambang di pulau ini seakan tak pernah mengecil lebih dari 80.000 hektare tanah sudah dicaplok perusahaan-perusahaan besar, dari PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang mengeruk tembaga dan emas di Batu Hijau, PT Sumbawa Timur Mining (STM) yang mengejar harta karun mineral dan panas bumi di Blok Onto Dompu, hingga PT Sumbawa Jutaraya (SJR) yang ikut menambah luka baru di perbukitan pulau Sumbawa.
Di atas kertas, semua perusahaan ini mengantongi izin lengkap. Namun di balik dokumen legal itu, terbentang fakta mencemaskan, ratusan ribu hektare kawasan hutan, DAS, dan habitat satwa langka perlahan musnah. Penambangan terbuka dan rencana pembuangan tailing khususnya di area konsesi PT STM dan PT SJR mengancam hutan lindung yang seharusnya menjadi benteng terakhir cadangan air bersih dan keanekaragaman hayati Sumbawa.
Ironisnya, sebagian blok izin yang diajukan PT STM mencakup sekitar 5.300 hektare kawasan hutan lindung. Permohonan penggunaan lahan itu, jika disetujui, nyaris pasti melanggar prinsip tata ruang yang ditegaskan dalam Perda RTRW NTB. Aturan itu sudah jelas pemanfaatan kawasan lindung hanya diperbolehkan untuk konservasi atau riset terbatas, bukan untuk tambang terbuka dan pembuangan limbah mineral.
Begitu pula PT SJR. Lokasi konsesinya menempel pada Daerah Aliran Sungai Moyo yang kini semakin rapuh. Deforestasi yang ditimbulkan pembukaan lahan tambang bukan hanya menghilangkan penyangga air, tapi juga meningkatkan risiko banjir bandang dan krisis air bersih di musim kemarau. Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan petani dan ternak lambat laun berubah keruh.
Tentu saja perusahaan akan membela diri dengan argumentasi klise mereka memiliki dokumen AMDAL, izin lingkungan, dan komitmen reklamasi. Tetapi pengalaman menunjukkan, pengawasan reklamasi kerap longgar. Banyak lahan tambang dibiarkan terlantar lubang bekas galian menganga tanpa pemulihan vegetasi memadai. Masyarakat yang tinggal di sekitar konsesi harus memikul beban ekologis tanpa kepastian kompensasi yang adil.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mestinya tidak lagi tinggal diam menghadapi fakta-fakta ini. RTRW bukan sekadar formalitas yang ditempel di kantor dinas. Ia adalah fondasi tata kelola wilayah yang seharusnya menempatkan keselamatan ekosistem di atas kepentingan segelintir korporasi. Jika wilayah pertambangan terus merangsek masuk kawasan lindung tanpa revisi peruntukan dan kajian publik yang terbuka, maka itu bukan Cuma kecerobohan administratif melainkan pelanggaran hukum yang harus ditindak.
Kita tidak anti-pertambangan. Namun pertambangan yang merampas hutan, mematikan sungai, dan merusak ruang hidup generasi mendatang bukanlah pembangunan. Itu penjarahan yang disulap menjadi kebijakan resmi dengan tanda tangan pejabat.
Sudah waktunya Pemerintah NTB dan Kementerian ESDM melakukan evaluasi total izin-izin tambang di Sumbawa, terutama milik PT STM dan PT SJR. Audit lingkungan menyeluruh, transparansi dokumen AMDAL, hingga moratorium pembukaan hutan baru adalah langkah minimum yang harus dilakukan. Jika tidak, Sumbawa akan kehilangan hutan dan air bersih lebih cepat dari yang kita perkirakan.
Dan ketika itu terjadi, izin legal yang dulu diagungkan tak akan bisa membeli kembali hutan yang hilang. (red)