Relaksasi Ekspor Tambang: Negara Tak Boleh Tunduk pada Korporasi

Barsela24news.com



Oleh: Ardiansyah Direktur NasPol NTB 

Mataram, NTB - Pemerintah pusat kembali membuka pintu relaksasi ekspor tambang mentah, sebuah kebijakan yang terasa seperti langkah mundur di tengah semangat hilirisasi yang selama ini diagung-agungkan. Dalihnya klasik mendukung daerah dan mencegah gangguan ekonomi lokal akibat larangan ekspor. Salah satu daerah yang getol menyuarakan hal ini adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), rumah bagi perusahaan tambang besar seperti PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).

Namun di balik wacana relaksasi ini, kita perlu bertanya untuk siapa sebenarnya kebijakan ini dibuat? Untuk bangsa, atau untuk korporasi tambang yang tak siap menjalankan kewajibannya?

Relaksasi ekspor hasil tambang mentah seperti tembaga atau nikel adalah bentuk inkonsistensi kebijakan. Presiden Joko Widodo dalam berbagai forum internasional dengan bangga menyatakan bahwa Indonesia akan berdiri tegak menjaga kedaulatan sumber daya alamnya melalui hilirisasi. Bahkan, Indonesia tak gentar menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO akibat larangan ekspor nikel mentah. Tapi kini, tiba-tiba pemerintah mempertimbangkan untuk memberi kelonggaran. Ironis.

Kita tahu bahwa perusahaan seperti PT Amman Mineral di NTB belum sepenuhnya siap dengan fasilitas smelter yang dijanjikan. Pembangunan molor, dan penyelesaian tidak sesuai tenggat. Namun alih-alih memberi sanksi atau memaksa percepatan, negara malah memberi karpet merah dalam bentuk relaksasi ekspor. Bukankah ini bentuk ketundukan pada tekanan korporasi?

Lebih parah lagi, kebijakan ini justru mengirimkan sinyal negatif kepada pelaku usaha lain bahwa komitmen bisa dinegosiasikan, bahwa kontrak pembangunan smelter hanya formalitas. Korporasi besar bisa berdalih dan minta dispensasi, dan negara akan mengalah demi alasan *“stabilitas daerah”*. Lalu di mana keberpihakan pada kepentingan jangka panjang bangsa?

Hilirisasi bukan hanya tentang membangun smelter. Ia adalah strategi besar untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari eksportir bahan mentah menjadi negara industri yang berdaulat atas sumber dayanya. Jika relaksasi ini dibiarkan terus, maka strategi itu hanya akan menjadi jargon kosong tanpa keberanian politik.

NTB sebagai salah satu daerah penghasil tembaga terbesar memang sangat terdampak oleh larangan ekspor tambang mentah. Pemerintah daerah dan pelaku ekonomi lokal bersuara lantang, bahkan menyampaikan kekhawatiran terhadap potensi pemutusan hubungan kerja jika ekspor dihentikan. Namun pendekatan kebijakan tidak boleh hanya berbasis tekanan lokal jangka pendek. Negara tidak boleh gegabah hanya karena satu atau dua perusahaan besar mengeluh.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kontribusi sektor tambang terhadap kesejahteraan masyarakat NTB masih jauh dari optimal. Ketimpangan, pengangguran, dan kemiskinan tetap tinggi di sekitar wilayah industri tambang. Maka kita pun patut bertanya sejauh mana sebenarnya keberadaan tambang ini benar-benar menyejahterakan masyarakat? Atau justru, NTB selama ini hanya menjadi “daerah penyangga” untuk eksploitasi sumber daya yang manfaatnya dibawa ke luar?

Kebijakan relaksasi ekspor ini justru semakin memperkuat struktur ekonomi ekstraktif yang selama ini menyandera banyak daerah di Indonesia. Daerah seperti NTB akan terus tergantung pada aktivitas tambang mentah, tanpa ada upaya serius mendorong diversifikasi ekonomi atau peningkatan nilai tambah di dalam negeri.

Lebih jauh, jika pemerintah pusat kembali mengizinkan ekspor mentah hanya karena tekanan daerah atau korporasi, maka negara sedang membuka pintu preseden yang berbahaya. Ke depan, perusahaan lain akan dengan mudah menuntut perlakuan serupa. Hilirisasi pun akan tinggal nama.

Kita tentu tidak menafikan pentingnya menjaga stabilitas daerah dan keberlangsungan industri. Tapi solusinya bukan dengan membiarkan ekspor bahan mentah terus terjadi. Justru pemerintah pusat dan daerah semestinya bekerja keras mempercepat pembangunan infrastruktur industri pengolahan di daerah-daerah tambang. Dorong investasi di sektor hilir. Ciptakan insentif bagi percepatan pembangunan smelter. Beri batas waktu yang ketat dan tegas.

Presiden Jokowi telah menempatkan hilirisasi sebagai warisan ekonomi nasional. Maka seharusnya Presiden Prabowo yang melanjutkan tongkat estafet seharusnya tidak merusak visi itu hanya karena desakan korporasi tambang dan suara-suara daerah yang terjebak pada ekonomi jangka pendek.

Dalam sejarahnya, bangsa besar bukan dibangun oleh pemimpin yang menuruti tekanan pemilik modal, tapi oleh mereka yang berani mengambil keputusan sulit demi kepentingan masa depan. Relaksasi ekspor tambang adalah keputusan mudah yang tampak populis, tapi justru menyimpan biaya ekonomi, politik, dan moral yang mahal bagi bangsa ini ke depan.

Penutup

Sudah saatnya pemerintah pusat menunjukkan ketegasan dan konsistensi. Jika memang hilirisasi adalah jalan yang dipilih, maka segala bentuk godaan untuk mundur harus dilawan. Jangan biarkan kebijakan nasional dikendalikan oleh kepentingan lokal yang didikte oleh korporasi tambang. Negara harus berdaulat, bukan tunduk. (Red)