Mataram, NTB - Dugaan praktik “bagi-bagi uang” di tubuh DPRD Nusa Tenggara Barat bukan sekadar rumor politik. Indikasi kuat mulai terkuak bahwa skema pembagian dana kepada sejumlah anggota dewan berlangsung secara sistematis, melibatkan proses penganggaran yang tidak transparan, dan menyeret nama-nama penting di jajaran legislatif. Nama Ketua DPRD NTB bahkan disebut dalam sejumlah laporan dan diskusi publik.
Situasi ini menempatkan *Kejaksaan Tinggi NTB* dalam posisi krusial. Keheningan dalam menangani persoalan ini justru akan memperkuat persepsi publik bahwa penegakan hukum di daerah hanya bekerja untuk kasus-kasus kecil. Sementara ketika dugaan korupsi terjadi di level elit, aparat justru kehilangan ketegasan.
Sejarah telah mencatat contoh paling relevan. Skandal DPRD Kota Malang pada 2018 membuktikan bahwa korupsi massal dalam lembaga legislatif bukan isapan jempol. Saat itu, 41 dari 45 anggota DPRD ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap APBD-P. Dampaknya tidak hanya memukul integritas lembaga, tapi juga menyebabkan **penggantian antar waktu (PAW) secara masal** dan lumpuhnya fungsi legislatif untuk sementara waktu.
Jika skema yang sama terjadi di NTB dengan dugaan uang yang dibagikan berasal dari pokok-pokok pikiran (Pokir), dana aspirasi, atau hibah bansos yang dipolitisasi maka *kemungkinan terjadinya tersangka masal sangat terbuka*. Apalagi dalam sistem kerja DPRD yang bersifat kolektif-kolegial, setiap keputusan anggaran biasanya melibatkan banyak pihak.
Lebih jauh, *jika keterlibatan eksekutif terkonfirmasi*, baik dalam bentuk restu atau fasilitasi teknis, *bukan tidak mungkin Gubernur NTB juga akan ikut terseret* dalam proses hukum. Ini bukan sekadar skandal individual, tapi potensi kegagalan sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.
Dalam kondisi seperti ini, *Kejaksaan Tinggi NTB tidak boleh pasif*. Penyelidikan harus segera dibuka, nama-nama yang disebut dalam dugaan distribusi dana harus dipanggil, dan proses hukum dilakukan dengan standar integritas tinggi. Kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif dan eksekutif dipertaruhkan. Dan lebih dari itu, inilah saatnya hukum membuktikan dirinya setara terhadap siapa pun, tidak tunduk pada posisi, jabatan, atau afiliasi politik.
Kasus ini bukan hanya soal siapa yang menerima dan siapa yang memberi. Ini soal bagaimana kekuasaan dipraktikkan di ruang-ruang yang mestinya menjadi penjaga amanat rakyat.
Tersangka masal? Mungkin. PAW masal? Sangat mungkin. Tapi lebih dari itu, yang paling ditakutkan adalah lumpuhnya kepercayaan rakyat terhadap seluruh institusi politik daerah.
Oleh: Ardiansyah Direktur Naspol NTB