Pakar otonomi daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA. Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Jakarta,- Kebijakan pemerintah pusat yang bakal memangkas dana transfer ke daerah (TKD) hingga sebesar Rp269 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk pakar otonomi daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu menyebutkan bahwa pemangkasan TKD dapat mengganggu jalannya pemerintahan daerah, melemahkan otonomi daerah, membuat buruknya pelayanan publik, dan memperlambat pembangunan di tingkat lokal.
Ia menekankan bahwa dalam kerangka otonomi daerah yang sehat, idealnya daerah memiliki kemampuan membiayai urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepadanya. Namun, realita menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia—sekitar 80% dari total 546 daerah otonom—masih sangat bergantung pada dana subsidi atau transfer dari pusat.
“Jika dana transfer dikurangi secara signifikan, maka pelayanan publik akan terganggu dan perekonomian daerah melambat. Ini akan menjauhkan kita dari tujuan utama otonomi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat pelayanan publik,” ujarnya kepada media ini, Rabu (17/9/2025).
Djohermansyah menilai bahwa upaya daerah untuk mandiri secara fiskal dalam jangka pendek hampir mustahil. Dia menyampaikan beberapa solusi, seperti meningkatkan pajak dan retribusi daerah dianggap tidak realistis di tengah kondisi ekonomi rakyat yang masih sulit.
Kemudian skema kerja sama pemerintah daerah dengan badan usaha tidak bisa dibangun secara instan. Pemanfaatan sumber daya alam juga terbatas karena tidak semua daerah memilikinya atau mampu mengeksplorasinya secara optimal.
Menurut Djohermansyah, solusi terbaik saat ini adalah menjaga keharmonisan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Ia juga mengkritik logika pemotongan yang dilakukan secara sepihak tanpa disertai pembinaan yang optimal terhadap pemerintah daerah.
“Pusat selama ini di mana? Kok tiba-tiba memotong dengan alasan belanja daerah tidak berkualitas. Bukankah menjadi tugas pemerintah pusat juga untuk membina daerah?” kata mantan Dirjen Otda Kemendagri itu mempertanyakan.
Dia juga mengingatkan bahwa TKD seharusnya digunakan untuk mendukung pemerintahan daerah, bukan digantikan oleh kementerian dan lembaga (K/L) yang membangun langsung di daerah dengan orientasi program strategis nasional—yang sering kali tidak selaras dengan kebutuhan lokal.
Keadilan Fiskal
Djohermansyah juga menyoroti ketimpangan dalam distribusi fiskal nasional. Satu pemerintah pusat belanjanya mencapai lebih dari Rp2.700 triliun, sedangkan 546 daerah otonom harus pasrah menerima Rp900 triliun yang dibagikan ke seluruh daerah otonom di Indonesia.
“Ini jelas tidak adil. Kalau kita bicara keadilan fiskal, pembagian ini seharusnya ditinjau ulang, bukan dibikin kurang. Bahkan, bisa berpotensi bertentangan dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945,” tegasnya.
Dia mendorong DPR agar menggunakan hak anggaran secara lebih tegas, dan tidak membiarkan eksekutif menjalankan kebijakan pemangkasan tanpa evaluasi menyeluruh. Evaluasi anggaran kementerian dan lembaga pusat pun dinilainya perlu dilakukan, terutama untuk membatasi belanja-belanja yang bukan kebutuhan rakyat.
“Kalau mau efisiensi, jangan hanya potong dana ke daerah. Evaluasi juga anggaran kementerian dan lembaga pusat yang cenderung boros,” tutupnya.
Pemangkasan TKD dalam APBN 2026 bukan hanya persoalan teknis anggaran, melainkan berimplikasi langsung terhadap keberlanjutan otonomi daerah, kualitas pelayanan publik, dan akselerasi pembangunan. Pemerintah pusat dan DPR dituntut untuk lebih bijak, adil, serta mendengarkan suara daerah dalam merumuskan kebijakan fiskal nasional dengan menunda atau paling tidak mengurangi secara signifikan pemangkasan dana TKD pada APBN 2026. (*)