Mantan Kombatan GAM sekaligus eks Panglima Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Lhok Tapaktuan, Irhapa Manaf atau Pang 5 IR. Foto: Ist
Aceh Selatan,- Mantan Kombatan GAM sekaligus eks Panglima Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Lhok Tapaktuan, Irhapa Manaf atau Pang 5 IR, mengeluarkan pernyataan keras terhadap pihak-pihak yang meremehkan MoU Helsinki dengan komentar sinis seperti “sedikit-sedikit Helsinki, 20 tahun ini bikin apa?”
“Ini bukan sekadar komentar. Ini strategi framing. Ada pihak yang ingin menggiring opini publik bahwa MoU sudah tidak relevan, supaya mereka bisa menawarkan isu baru sebagai kendaraan politiknya. Ini sangat berbahaya dan tidak bisa dibiarkan,” tegasnya, Sabtu (15/11/2025).
Menurutnya, pernyataan semacam itu tidak hanya menunjukkan ketidaktahuan sejarah, tetapi juga merupakan permainan politik berbahaya yang dapat mengguncang fondasi perdamaian Aceh.
Irhapa Manaf menegaskan bahwa sebagian pihak yang kini mengkritik MoU justru tidak sadar—atau pura-pura lupa—bahwa pimpinan partai mereka sendiri turut serta dalam proses panjang yang melahirkan perdamaian Aceh.
“Yang paling ironis, ada politisi yang meremehkan MoU, padahal bos besar di partainya adalah salah satu tokoh nasional yang ikut terlibat dalam penguatan kerangka perdamaian 2005. Mereka ini tidak hanya keliru, tapi juga tidak mengenang jejak sejarah partai mereka sendiri,” kata Pang 5 IR.
Ia menambahkan, meremehkan MoU berarti juga meremehkan keputusan politik nasional yang bahkan dipelopori oleh elite-elite besar negara—termasuk mereka yang kini jadi panutan kelompok pengkritik MoU.
“Kalau mau menyerang MoU, minimal tahu dulu sejarahnya. Jangan sampai yang bersuara keras justru tidak paham bahwa tokoh utama di partainya dulu ikut menyempurnakan proses damai Aceh,” ujarnya.
Pang 5 IR menegaskan bahwa kritik terhadap pembangunan boleh saja, bahkan harus. Namun menjadikan MoU sebagai kambing hitam adalah tindakan tidak etis dan tidak intelektual.
“Kalau pembangunan tidak maksimal, itu tanggung jawab pengelola anggaran dan pejabat yang duduk di kursi kekuasaan. Jangan lempar kesalahan ke Helsinki. Jangan kaburkan kegagalan manajemen dengan narasi yang menyesatkan,” katanya.
Menurutnya, pola seperti ini adalah gaya politik usang yang menganggap masyarakat Aceh tidak paham dinamika pembangunan.
Irhapa Manaf mengingatkan bahwa MoU Helsinki bukan sekadar dokumen perdamaian, tetapi fondasi politik Aceh yang membentuk struktur ketatanegaraan saat ini.
“MoU adalah pagar politik Aceh. Mengutak-atiknya, meremehkannya, atau membuat narasi seolah MoU tidak penting lagi, sama saja membuka ruang instabilitas sosial. Itu langkah tidak bertanggung jawab,” tegasnya.
Ia menilai bahwa narasi meremehkan MoU dapat dengan cepat memicu kegaduhan di akar rumput dan merusak konsensus yang sudah berjalan hampir dua dekade.
Pang 5 IR juga menyoroti kecenderungan sebagian politisi yang hanya menjadikan MoU sebagai alat untuk menaikkan popularitas menjelang momentum politik tertentu.
“Aceh bukan laboratorium untuk uji coba retorika politik. Jangan jadikan MoU sebagai tombol untuk memainkan emosi publik. Rakyat Aceh bukan objek, dan mereka sudah sangat paham pola seperti ini,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Irhapa Manaf menegaskan bahwa menjaga MoU adalah kewajiban moral dan politik bagi siapa pun yang ingin Aceh tetap stabil.
“MoU Helsinki lahir dari darah, air mata, dan perjuangan panjang. Menghinanya berarti menghinakan Aceh. Siapa pun yang mencoba melemahkan MoU berarti sedang mencoba melemahkan Aceh. Dan itu tidak boleh dibiarkan,” tutupnya.
Laporan: Hartini
