‎Kota Suci jadi Saksi Saat Sang Oposisi Mulai Membuli, Kuda Hitam Mulai Menampakan Gigi

Barsela24news.com


Opini dari seorang Pemuda Aceh Selatan: 
                      Amin Jadid

Aceh Selatan,- ‎Situasi dan kondisi Aceh Selatan mulai di framing secara ugal-ugalan dengan eksistensi politik yang terus di perankan, para sang elit politik tentu tidak tingal diam mengambil moment yang mengagungkan akulah sang kuda hitam.
‎Sang kuda hitam mulai menampakan gigi gerahamnya sambil tersenyum dan memainkan peran penting untuk menggulingkan sang pemimpin yang di anggap lawan, sangat penting dan terus menciptakan strategi licik dengan modus kesalahan sang pemimpin yang bernazar ke tanah suci.
‎Tentunya masyarakat jangan tertipu daya oleh peranan yang di mainkan, seolah-olah bupati Aceh Selatan salah dalam menjalankan peran, harusnya kita tabayun dalam menyikapi peran sang bupati dalam memajukan Aceh Selatan.
‎Isu Nazar Umrah Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan, menjadi potret paling menyayat dari kegamangan itu. Sebuah perjalanan ibadah ke Tanah Suci, sebuah nazar yang lahir dari ketundukan seorang hamba, dipelintir seolah-olah ia adalah pelarian dari tanggung jawab. Padahal yang dilakukannya bukan perjalanan ke Turky atau karoke saat bencana melainkan memanjatkan doa di kota tersuci umat Islam tercinta.
‎Meskipun terlanjur pergi saat surat izin Kemendagri yang telat menyusul, namun esensi dari suasana hati sang bupati tetap peduli untuk Daerah kelahirannya, itu jelas terlihat dan terbaca di media-media saat umrah bupati masih berkomunikasi dan kordinasi serta mengerahkan segala jajaran SKPK untuk bekerja.
‎Namun yang luput dari framing publik adalah satu fakta penting: Bupati Mirwan tidak pernah membelakangi rakyatnya. Sebelum menunaikan nazarnya, ia memastikan bahwa dampak bencana di wilayahnya tertangani. Ia memahami betul bahwa persoalan banjir di Aceh Selatan bukan kejadian tiba-tiba, melainkan problem klasik yang berulang setiap tahun air kiriman dari hulu yang datang tanpa mengenal musim dan jabatan.
‎Persoalan ini bukan perkara sepele, tetapi juga bukan bencana yang muncul karena kelalaian satu orang. Ia membutuhkan perencanaan lintas wilayah, kajian teknis, dan negosiasi kebijakan yang matang. Dan itu tidak mungkin dikerjakan dalam satu malam, atau diselesaikan dengan kemarahan sesaat.
‎Karena itu, setelah memastikan Wilayah yang terdampak telah ditangani secara darurat—logistik tersalurkan, koordinasi berjalan, dan roda pemerintahan tetap bergerak—barulah beliau menunaikan nazar yang telah lama terikat di hatinya. Bukan lari dari tanggung jawab, tetapi menunaikan janji spiritual yang tak boleh ditunda ketika Allah telah memberi jalan.
‎Namun apa yang kita saksikan? Seorang pemimpin yang memilih tenang justru dihujani tudingan. Ia tidak berteriak, tidak melawan, tidak mencari pembenaran. Yang kita lihat hanya sebuah video singkat—kepala daerah yang menunduk, meminta maaf kepada publik, bukan karena ia meninggalkan rakyatnya, tetapi karena kegaduhan yang terlanjur tercipta.
‎Adegan itu seharusnya membuat kita diam. Seharusnya membuat dada kita sesak. Di tanah syariat, seorang pemimpin harus meminta maaf karena beribadah, setelah memastikan rakyatnya aman.
‎Ini bukan sekadar soal Bupati Mirwan. Ini tentang bagaimana kita memperlakukan nilai. Ketika empati dikalahkan oleh prasangka, ketika ibadah diadili dengan kacamata politik, maka yang terluka bukan hanya satu nama, tetapi martabat Aceh sebagai wilayah syariat.
‎Mungkin yang paling menyedihkan dari semua ini bukanlah perjalanan ke Tanah Suci, melainkan perjalanan hati kita sendiri yang kian jauh dari empati. Di tanah yang mengaku bersyariat, seorang pemimpin harus menunduk dan meminta maaf karena beribadah, sementara prasangka berdiri lebih tegak dari pada keadilan. Jika nazar saja bisa dipelintir menjadi kesalahan, lalu kepada siapa lagi niat baik harus berlindung? Kelak sejarah akan mencatat bukan tentang ke mana seorang bupati pergi, tetapi tentang bagaimana kita gagal menjaga kebijaksanaan—bahwa di Serambi Mekkah, yang paling terluka hari itu bukan kekuasaan, melainkan rasa adil dan belas kasih kita sendiri. (Tim)