Tahun demi tahun berlalu.
Bulan berganti, hari mengecil, waktu berjalan dan Aku tetap berdiri di antara tanya yang tak kunjung selesai.
Siapakah Aku, sesungguhnya?
Makhluk dari tanah, yang di titipi nyawa hanya untuk kembali menjadi debu?
Untuk apa Aku di lahirkan, jika akhirnya semua yang Aku genggam harus ku tanggalkan di ujung lahat?
Harta tak menetap.
Tahta di turunkan.
Cinta pun, kadang hanya tinggal perasaan sepihak.
Lalu apa yang kekal Tuhan? Apa?
Kita di lahir kan, tumbuh, kehilangan, mencintai, di khianati, menang, gagal, tertawa, menyembunyikan air mata, lalu pergi.
Apa itu bukan lelucon yang terlalu panjang?
Apa semua ini bukan panggung murahan yang menyamar sebagai kehidupan?
Namun jauh di dalam dada, ada bisikan yang selalu mengulang satu nama: Engkau.
Dan mungkin hanya Engkau yang menjadi alasan segala ini tidak sia-sia. Bahwa hidup bukan untuk di tinggalkan, tapi untuk di pertanggungjawaban.
Bahwa kita di turunkan bukan untuk bertanya terus-menerus, tapi untuk menjawab dengan amal dan pengabdian.
Bahwa kita adalah khilafah bukan penguasa, tapi penjaga.
Dan di sela perjalanan panjang itu, aku menemukan satu mahkluk yang membuat ku ingin lebih lama hidup: Dirimu.
Saat itu tak sedang mencari siapa siapa, tapi Tuhan memberi tatapan mu. Lalu aku pun mengerti, bahwa
cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang mengenali jejak Tuhan dalam ciptaan yang membuat hati menjadi lebih lapang untuk bersujud.
Jika ini takdir, Aku akan merawatnya.
Jika ini cobaan, Aku akan menjalani nya. Jika ini hanya ujian perasaan,
maka biarlah Aku gagal dengan tenang...
Dan jika hidup ini benar akan berakhir.
Setidaknya Aku pernah mencintai.
Bukan demi di miliki.
Tapi demi membuktikan bahwa Aku hidup.
#malam
#tanpasuara