Rahmat Ketua AMPI NTB
Mataram, NTB - Pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB adalah ironi politik birokrasi. Seorang pejabat yang pernah dijatuhi pidana percobaan dalam kasus penelantaran istri dan anak, kini justru diberi panggung oleh Gubernur Lalu Muhamad Iqbal.
Apakah ini seleksi terbuka, atau seleksi tertutup rapat? Apakah ini merit system, atau sekadar “like and dislike system”? Pertanyaan ini wajar muncul, sebab aturan jelas menyebutkan bahwa jabatan pimpinan tinggi harus memperhatikan integritas dan moralitas (UU ASN No. 5/2014 Pasal 108 ayat 3).
Di atas kertas, hukuman percobaan enam bulan memang tidak otomatis membuat seorang ASN dipecat. PP 11/2017 juncto PP 17/2020 menyebutkan pemberhentian hanya berlaku untuk hukuman pidana dua tahun atau lebih. Tetapi, apakah birokrasi hanya sekadar soal administrasi hukum? Tidak. Birokrasi juga soal wibawa dan kepercayaan publik.
Kepala dinas bukan sekadar jabatan teknis. Ia simbol kepercayaan negara kepada rakyatnya. Bagaimana publik bisa percaya kepada seorang pejabat yang punya catatan hitam dalam urusan rumah tangganya? Bukankah PP 42/2004 tentang Kode Etik ASN sudah mewajibkan setiap aparatur menjaga kehormatan keluarga dan menghindari perbuatan tercela?
Di sinilah merit system Gubernur Iqbal dipertanyakan. Merit system sejatinya adalah seleksi berbasis prestasi, integritas, dan kompetensi. Tapi jika moralitas diabaikan, merit system itu runtuh menjadi sekadar formalitas.
Mungkin Gubernur lupa, investasi bukan hanya urusan modal dan izin. Investasi juga soal kepercayaan. Investor asing maupun lokal akan menimbang, apakah pemerintah daerah ini serius membangun tata kelola yang bersih, atau justru menoleransi cacat integritas?
Jika gubernur menganggap ini biasa, publik justru harus menganggapnya serius. Sebab, dari satu kasus kecil bisa terbaca arah besar kepemimpinan. Bila integritas pejabat dianggap sepele, maka jangan kaget bila korupsi, kolusi, dan nepotisme kembali menjadi normalitas. (*)