Kalimantan, 2 Desember 2025 – Forum Komunikasi Mahasiswa Teknik Sipil Seluruh Indonesia (FKMTSI) Wilayah Aceh melalui Penanggung Jawab Koordinator Wilayah Jaafar Husen, mendesak Pemerintah Pusat segera menetapkan status darurat bencana nasional untuk penanganan banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh dan wilayah Sumatra lainnya akhir November 2025.
Desakan tersebut muncul bukan hanya karena tingginya jumlah korban, tetapi karena bukti kuat bahwa penyebab utama bencana ini adalah kerusakan lingkungan yang berlangsung massif, bukan semata “bencana alam”.
Isu Aceh Dibawa ke Forum Nasional FKMTSI di Kalimantan
Saat ini Jaafar Husen sedang mengikuti *Temu Wicara Nasional FKMTSI ke-XXXV Wilayah X* di Kalimantan. Dalam forum yang dihadiri delegasi mahasiswa teknik sipil dari seluruh Indonesia tersebut, Jaafar mengadvokasi penuh kondisi Aceh dan membawa rilis resmi ini ke tingkat nasional.
Ia menegaskan bahwa persoalan banjir Aceh, deforestasi, dan tambang ilegal tidak boleh menjadi isu lokal semata, melainkan harus masuk dalam rekomendasi nasional FKMTSI untuk disampaikan kepada kementerian teknis terkait.
Jaafar menambahkan bahwa FKMTSI sebagai Organisasi nasional yang menghimpun himpunan mahasiswa teknik sipil dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki kewajiban moral untuk mengkritisi dan memperingatkan pemerintah ketika kerusakan lingkungan mengancam keselamatan masyarakat luas.
Banyak Wilayah Aceh Masih Terisolasi, Bantuan Belum Merata
Hingga hari ini sejumlah wilayah di Aceh diketahui masih terisolasi akibat jalan dan jembatan putus. Kondisi ini menyebabkan bantuan belum menjangkau semua korban:
• Aceh Singkil & Subulussalam
Akses darat terputus total. Jalur lintas nasional Tapaktuan–Subulussalam lumpuh dan menyebabkan ratusan kendaraan terjebak.
Stok bantuan di pengungsian terutama di Kecamatan Singkil diperkirakan hanya cukup hingga 2 Desember 2025. Pengungsi terancam kekurangan pangan, air bersih, dan obat-obatan.
• Aceh Utara
Beberapa desa masih terisolasi dan belum dapat dijangkau tim bantuan. Distribusi logistik sangat terbatas akibat jalan rusak dan genangan tinggi di titik-titik penghubung.
• Aceh Timur (Lokop, Serbajadi, Simpang Jernih)
Tiga kecamatan ini belum bisa diakses melalui jalur darat karena longsor menutup total badan jalan. Warga mengandalkan bantuan terbatas dari jalur alternatif yang tidak stabil.
• Aceh Tamiang
Sebanyak sepuluh kecamatan masih terisolasi. Sejumlah warga bahkan terpaksa menembus hutan untuk mencapai lokasi yang lebih aman. Akses perbatasan Aceh Tamiang–Sumatera Utara juga mengalami gangguan signifikan.
• Aceh Barat (KAT Sikundo, Pante Ceureumen)
Sekitar 40 KK di Komunitas Adat Terpencil (KAT) Sikundo sempat terancam kelaparan karena akses Jambak–Sikundo putus total diterjang banjir bandang. Pemerintah Aceh Barat baru bisa menerobos wilayah ini dan menyalurkan bantuan pada 1 Desember 2025.
• Aceh Tengah & Bener Meriah
Sejumlah desa di dataran tinggi Gayo terisolasi akibat banjir bandang dan longsor. Komunikasi dan akses darat terputus di banyak titik, sehingga evakuasi hanya bisa dilakukan melalui jalur alternatif.
• Pidie Jaya & Bireuen
Jembatan utama di perbatasan kedua kabupaten ini putus, menghambat total arus logistik dan mengisolasi beberapa kawasan permukiman.
Situasi ini memperlihatkan bahwa penanganan daerah masih sangat terbatas dan tidak merata, sehingga status darurat nasional menjadi kebutuhan mendesak.
Update Terbaru Data Korban Banjir Aceh
Korban meninggal dunia: sebanyak 173 jiwa. Sebelumnya laporan awal mencatat kisaran 96–156 korban.
Korban hilang: 204 orang masih belum ditemukan.
Total warga terdampak: mencapai 955.322 jiwa atau 214.940 KK di seluruh Aceh.
Pengungsi: sebanyak 478.847 jiwa, tersebar di 828 titik pengungsian.
Korban terluka: tercatat 1.838 jiwa mengalami luka-luka
Data korban terus diperbarui seiring tim SAR membuka akses ke daerah terisolasi.
Deforestasi dan Tambang Ilegal: Akar Kerusakan Ekosistem Aceh
Dalam beberapa pemantauan terbaru, Yayasan HAkA mencatat hilangnya lebih dari 10.610 hektare hutan di Aceh.
Laporan investigasi organisasi lingkungan juga menyebut terdapat sekitar 450 titik tambang emas ilegal yang beroperasi di kawasan hulu, taman nasional, dan bantaran sungai.
Aktivitas ini memotong vegetasi, mengubah aliran sungai, dan mempercepat sedimentasi yang meningkatkan risiko banjir bandang. Kerusakan ekologis ini memperkuat analisis bahwa banjir besar bukanlah fenomena alam semata, tetapi akumulasi kesalahan manusia dalam pengelolaan lingkungan.
Tuntutan FKMTSI Wilayah Aceh
FKMTSI Aceh menegaskan empat tuntutan utama:
1. Pemerintah pusat menetapkan darurat bencana nasional.
2. Pembentukan tim investigasi independen untuk menelusuri penyebab dan aktor kerusakan lingkungan.
3. Penertiban cepat terhadap tambang ilegal serta percepatan reboisasi.
4. Penyusunan rencana perlindungan DAS jangka panjang berdasarkan kajian dan aspek teknis
Penutup Soal Akuntabilitas dan Pencegahan
Jaafar Husen menegaskan: “Jika kita hanya menanggulangi korban tanpa menuntaskan akar penyebab perusakan hutan, tambang ilegal, dan kelalaian tata ruang maka tragedi ini akan berulang.”
Melalui forum nasional di Kalimantan, ia menyerukan kepada seluruh pengurus FKMTSI se-Indonesia untuk menjadikan isu Aceh sebagai perhatian nasional dan mendorong pemerintah mengambil langkah tegas.
FKMTSI Wilayah Aceh menekankan bahwa investasi pada ekosistem hulu dan penegakan hukum lingkungan adalah bagian penting dari mitigasi bencana yang efektif
(Muhammad Fawazul Alwi)
