Aceh Selatan – Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Samadua (IMPS) mengeluarkan pernyataan keras terkait keberadaan IUP Eksplorasi PT Bersama Sukses Mining (BSM) di Kecamatan Samadua.
Ketua IMPS, Fatan Sabiulhaq menegaskan menolak praktik perizinan yang dinilai cacat prosedur dan berpotensi merampas tanah masyarakat yang telah dikuasai secara turun-temurun. Kasus PT BSM disebutnya sebagai contoh nyata bagaimana izin tambang dapat menimbulkan konflik sosial jika tidak dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Pemerintah daerah tidak boleh menutup mata terhadap keluhan masyarakat Samadua yang merasa lahannya dimasukkan ke dalam peta IUP Eksplorasi tanpa sosialisasi dan tanpa persetujuan sebagian besar pemilik lahan tersebut," ungkap Fatan, kepada media Barsela24News.com melalui Rilis, Jumat 21 November 2025.
Ia menjelaskan bahwa tindakan tersebut bukan sekadar kesalahan administrasi, tetapi berpotensi melanggar aturan hukum yang tegas mengatur perlindungan hak atas tanah. Dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, Pasal 22 serta Pasal 136 ayat (2) mewajibkan setiap kegiatan pertambangan untuk menghormati hak pemilik tanah, dan membuka ruang sanksi bagi perusahaan yang menimbulkan kerugian atau merampas hak masyarakat.
Bahkan, kata Fatan Pasal 185 dan Pasal 158 UU Minerba memberikan ancaman pidana bila kegiatan pertambangan dilakukan tanpa memenuhi ketentuan perizinan, lingkungan, atau menimbulkan kerusakan maupun kerugian bagi warga.
Fatan juga menyoroti potensi pelanggaran Pasal 385 KUHP yang mengatur larangan mengklaim atau memasukkan tanah milik orang lain ke dalam penguasaan tanpa hak. Jika perusahaan memasukkan kebun rakyat ke dalam peta eksplorasi tanpa persetujuan, kata Fatan, hal tersebut telah mengarah pada perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.
Selain itu, PP 96 Tahun 2021 beserta turunanannya memberi kewenangan pemerintah mencabut IUP jika ditemukan pelanggaran, konflik sosial, ketidakpatuhan administrasi, atau ketidaksesuaian antara peta izin dengan kondisi faktual di lapangan. PP yang sama mewajibkan perusahaan memiliki bukti persetujuan pemilik tanah sebelum memulai kegiatan eksplorasi. "Untuk di Aceh kita punya Qanun Aceh Nomor 15 tahun 2017 junto Qanun Nomor 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam qanun tersebut mengatur bahwa perizinan tambang wajib mempertimbangkan perlindungan hak masyarakat, serta pemerintah wajib melakukan pengawasan dan evaluasi izin yang menimbulkan konflik," jelasnya.
Dalam pernyataannya, Fatan menegaskan bahwa lahan yang telah dikuasai dan dikelola turun-temurun tetap memiliki perlindungan hukum meskipun belum bersertifikat, sebagaimana diakui dalam prinsip-prinsip hukum agraria dan putusan-putusan Mahkamah Agung. "
Hak masyarakat tidak dapat dikesampingkan oleh peta konsesi perusahaan, dan negara wajib berpihak pada pemilik tanah yang menguasai lahan secara nyata dan berkelanjutan,"tegasnya.
IMPS mendesak Bupati Aceh Selatan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap IUP dan PPKPR PT BSM sesuai Instruksi Gubernur Aceh tentang penataan perizinan sumber daya alam. Evaluasi tersebut, menurut Fatan, harus dilakukan secara administratif, teknis, dan substantif, mencakup keabsahan dokumen izin, proses penetapan wilayah kerja, hingga keabsahan persetujuan masyarakat. Jika ditemukan pelanggaran, "Bupati wajib merekomendasikan pencabutan izin kepada Gubernur Aceh," ucapnya.
IMPS juga meminta Gubernur Aceh untuk tidak ragu menggunakan kewenangannya berdasarkan UU Minerba dan PP 96/2021 untuk mencabut IUP Eksplorasi PT BSM apabila bwrpotensi menimbulkan konflik, melanggar hak rakyat, atau diterbitkan dengan prosedur yang tidak sesuai ketentuan.
Fatan menegaskan bahwa izin yang cacat tidak boleh dipertahankan karena berpotensi memperluas konflik dan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Samadua bukan kawasan kosong yang dapat ditandai sesuka hati dalam peta perusahaan. Di sana ada kebun rakyat, ada tanah warisan, ada sejarah panjang penguasaan masyarakat yang harus dihormati. Pemerintah harus berdiri di pihak rakyat,” katanya.
Ia menambahkan bahwa IMPS akan terus mengawal persoalan ini hingga pemerintah mengambil langkah tegas agar konflik pertambangan di Samadua tidak berkembang menjadi persoalan yang lebih besar.
Dengan pernyataan ini, IMPS menegaskan komitmennya untuk memastikan tata kelola sumber daya alam di Aceh Selatan berjalan sesuai hukum, transparan, dan berpihak kepada masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah yang sah. (*)
Laporan: Hartini
