Mataram, NTB - Hari Ulang Tahun ke-67 Provinsi Nusa Tenggara Barat semestinya menjadi ruang kegembiraan kolektif. Sebuah momentum refleksi, bahwa provinsi ini hadir untuk melindungi, menyejahterakan, dan berlaku adil bagi seluruh warganya. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan ironi yang menyakitkan: di saat panggung perayaan berdiri megah, 518 tenaga honorer menghadapi kenyataan pahit kehilangan pekerjaan dan masa depan.
Alih-alih menerima penghargaan atas pengabdian bertahun-tahun, honorer 518 justru mendapatkan “hadiah” paling kejam dari rezim pemerintahan saat ini: PHK massal tanpa kepastian solusi. Kebijakan yang diklaim sebagai penataan birokrasi, pada praktiknya berubah menjadi penyingkiran sistematis terhadap mereka yang selama ini menjadi tulang punggung pelayanan publik.
Angka 518 sering diperlakukan seolah hanya data administratif. Padahal di balik angka itu terdapat manusia, keluarga, dan anak-anak yang menggantungkan hidup dari penghasilan sederhana sebagai honorer. Jika dihitung secara sosial, dampaknya menjalar pada lebih dari seribu jiwa yang kini berada dalam pusaran kecemasan ekonomi.
Lebih menyakitkan lagi, jalur konstitusional telah ditempuh. Surat resmi dikirimkan, audiensi dimohonkan, kantor-kantor didatangi pucuk pimpinan tertinggi Gubernur, Wakil Gubernur, hingga BKD. Namun negara, dalam wajah pemerintah daerah, memilih diam. Pintu-pintu kekuasaan tertutup rapat, seolah jeritan honorer hanyalah kebisingan yang mengganggu agenda besar perayaan.
Maka jangan heran jika pada puncak HUT NTB ke-67, Aliansi Honorer 518 turun ke jalan. Aksi itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan alarm keras bahwa ada ketidakadilan yang sedang dinormalisasi. Mereka tidak merusak perayaan mereka justru menghadirkan realitas yang sengaja disembunyikan di balik baliho dan panggung hiburan.
Pertanyaannya sederhana namun krusial:
untuk siapa NTB dibangun?
Jika pembangunan hanya dirayakan oleh mereka yang aman secara struktural, sementara yang lemah disingkirkan dengan dalih regulasi, maka yang kita saksikan bukan kemajuan, melainkan kemunduran moral.
Provinsi yang matang bukanlah provinsi yang piawai menggelar seremoni, tetapi yang berani menghadapi konsekuensi kebijakannya sendiri. Mengorbankan honorer atas nama efisiensi tanpa solusi konkret adalah bentuk kegagalan kepemimpinan dalam membaca keadilan sosial.
Di usia 67 tahun, NTB seharusnya semakin dewasa. Namun selama air mata honorer 518 masih mengalir, perayaan ini akan selalu terasa timpang pesta bagi sebagian, nestapa bagi yang lain.
Dan sejarah akan mencatat:
bukan tentang seberapa meriah HUT NTB dirayakan, melainkan tentang siapa saja yang dikorbankan di baliknya. (Tim)
Aliansi Honorer 518
