Menanam Padi di Gang Berlumpur: Kritik Sunyi Warga Desa Teke atas Abainya Tata Kelola Desa

Barsela24news.com

Bima, 24 Desember 2025 - Desa Teke, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima kembali menyuguhkan potret paradoks pembangunan pedesaan yang selama ini kerap luput dari perhatian publik. Di tengah narasi pembangunan desa yang terus digaungkan, warga justru dihadapkan pada kenyataan infrastruktur dasar yang stagnan dan dibiarkan memburuk dari tahun ke tahun. Salah satu simbol paling nyata dari kondisi tersebut adalah gang-gang perkampungan yang setiap musim hujan berubah menjadi kubangan lumpur, kotor, dan nyaris tak layak dilalui.

Gang-gang tersebut bukan sekadar jalur kecil pemukiman, melainkan akses vital yang menghubungkan perkampungan warga dengan area persawahan di sekitar desa. Jalan gang itu menjadi urat nadi pergerakan ekonomi warga—mulai dari aktivitas pertanian, distribusi hasil panen, hingga mobilitas sosial sehari-hari. Namun ironisnya, selama bertahun-tahun, akses ini tidak pernah menjadi prioritas pembangunan desa dan terus luput dari upaya pengaspalan maupun penataan yang memadai.

Sebagai bentuk ekspresi kekecewaan sekaligus kritik simbolik atas ketidakpedulian tersebut, Muhammad Ramadhan dan Irwansyah ORI Weo bersama warga melakukan aksi yang tidak lazim namun sarat makna: menanam padi di beberapa gang yang berlumpur. Aksi ini bukan sekadar peristiwa spontan, melainkan representasi kritik sosial yang lahir dari pengalaman konkret warga menghadapi abainya tata kelola pembangunan desa.

“Kami menanam padi di gang ini bukan untuk sensasi atau provokasi. Ini adalah bahasa kekecewaan warga yang sudah terlalu lama hidup berdampingan dengan lumpur dan ketidakpedulian,” ujar Muhammad Ramadhan, salah satu penggagas aksi.

Secara akademik, aksi menanam padi di jalan gang dapat dibaca sebagai bentuk komunikasi politik warga akar rumput. Ketika ruang partisipasi formal tidak mampu menjawab persoalan mendasar, masyarakat memilih bahasa simbolik sebagai medium kritik. Padi—sebagai simbol kehidupan, kerja keras, dan ketergantungan ekonomi—ditempatkan di ruang yang seharusnya berfungsi sebagai infrastruktur publik. Ini menjadi ironi yang disengaja: ketika jalan tak lagi berfungsi sebagai jalan, maka ia “difungsikan” sebagaimana sawah.

“Kalau setiap tahun jalannya berlumpur dan dibiarkan, maka secara simbolik kami perlakukan sebagai sawah. Ini cara kami menunjukkan bahwa fungsi jalan telah diabaikan,” lanjut Muhammad Ramadhan.

Fenomena ini juga mencerminkan persoalan perencanaan pembangunan desa yang tidak berbasis kebutuhan riil warga. Ketimpangan antara program, anggaran, dan realitas lapangan menunjukkan adanya jarak antara pemerintah desa dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Dalam perspektif pembangunan partisipatif, kondisi ini menandakan kegagalan membaca prioritas serta lemahnya sensitivitas sosial dalam pengelolaan dana dan kebijakan desa.

Aksi yang dilakukan Muhammad Ramadhan dan Irwansyah ORI Weo bukanlah tindakan anarkis atau destruktif, melainkan kritik etis yang lahir dari kesabaran panjang warga yang terus berhadapan dengan lumpur, kotoran, dan keterbatasan akses.

“Ini bukan kemarahan, ini kelelahan kolektif. Kami hanya ingin menunjukkan realitas yang selama ini tidak dilihat,” tegas Muhammad Ramadhan.

Pernyatan ini di sampaikan sebagai catatan kritis agar publik melihat bahwa di balik desa-desa yang disebut “maju”, masih terdapat ruang hidup warga yang terpinggirkan oleh kelalaian kebijakan. Menanam padi di gang berlumpur adalah suara sunyi warga Desa Teke—suara yang lahir bukan dari kebencian, melainkan dari kelelahan panjang akibat abainya perhatian. (Tim)