Gusmawi Mustapa: Predator Bersorban Saat Pimpinan Dayah Mengkhianati Syariat?

Barsela24news.com


Aceh Selatan --- Suasana Pantai Desa Kahad, Kecamatan Teupah Tengah, Kabupaten Simeulue, biasanya tenang dengan deru ombak yang memecah kesunyian. 


Namun Kamis sore, 11 September 2025, ketenangan itu pecah oleh sebuah peristiwa yang menyayat hati. Publik dihebohkan setelah beredar video penggerebekan sepasang kekasih di dalam sebuah minibus putih.


Pria yang tertangkap basah dalam video itu ternyata bukan orang sembarangan. Ia adalah Ustaz FAH, pimpinan salah satu pesantren di Simeulue Timur, sekaligus disebut sebagai Ketua Da’i Perbatasan. Sosok yang seharusnya menjadi panutan umat justru menjadi pelaku perbuatan yang bertentangan dengan ajaran yang ia dakwahkan.ucap Gusmawi. 


Lanjut nya, Belum reda keterkejutan masyarakat, dua hari sebelumnya, Selasa (9/9/2025), publik dikejutkan kabar lain: seorang pimpinan dayah berinisial T alias Walid (35) di Aceh Utara ditangkap aparat kepolisian. Ia diduga merudapaksa seorang santriwati berusia 16 tahun.


Dua kasus yang terjadi hampir bersamaan ini bagaikan  petir di siang bolong. Wajah Aceh, daerah yang berkomitmen pada Syariat Islam, tercoreng oleh ulah segelintir oknum yang justru bersembunyi di balik simbol agama.


Bagi masyarakat Aceh, dayah bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah benteng akhlak, tempat generasi ditempa dengan ilmu agama dan adab. Namun, kasus-kasus asusila yang melibatkan pimpinan dayah kini membuat banyak orangtua resah.


“Bayangkan, siapa yang bisa menjamin keselamatan anak-anak kita jika pimpinan lembaga justru menjadi predator? Ini luka yang dalam, bukan hanya bagi korban, tetapi bagi seluruh masyarakat Aceh,” ungkap Gusmawi Mustafa, penulis artikel yang mengangkat fenomena ini.


Menurutnya, setiap kasus semacam ini bukan hanya mencederai syariat, tetapi juga menanamkan trauma kolektif. 

Publik mulai ragu menitipkan anak-anak mereka ke pesantren. Ada ketakutan tersembunyi bahwa lembaga yang seharusnya suci bisa saja menjadi ruang rawan pelecehan seksual.


Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Gusmawi menyoroti beberapa faktor yang membuat kasus serupa berulang.


“Pertama, ada kultus individu terhadap pimpinan dayah. Mereka diposisikan seolah sempurna, mustahil berbuat salah. 

Kedua, konsep ta’zim kepada guru sering disalahgunakan. Rasa hormat berlebihan berubah menjadi kartu truf bagi pelaku. 

Ketiga, korban dan keluarganya sering takut bersuara karena khawatir dikucilkan. 

Keempat, banyak kasus diselesaikan secara damai demi menjaga nama baik lembaga. Dan kelima, pengawasan eksternal masih lemah,” jelasnya.


Kondisi inilah yang membuat kasus predator seksual di lingkungan dayah kerap berulang, bahkan menahun, tanpa ada solusi tuntas.


Gusmawi menegaskan, tidak ada pilihan lain bagi Aceh selain mengambil langkah berani dan tegas. Ia mengusulkan sejumlah terobosan yang menurutnya harus segera diwujudkan.


“Pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) perlu memperketat pengawasan, bukan hanya di atas kertas, tetapi nyata dan transparan. 

Lalu, pimpinan dan guru dayah wajib menjalani uji kompetensi, bukan hanya soal ilmu, tetapi juga akhlak, manajemen, dan perlindungan anak. Hasilnya harus jadi acuan perpanjangan izin operasional,” katanya.


Ia menambahkan, sistem pelaporan yang aman mutlak diperlukan. Korban harus merasa dilindungi dari intimidasi. 

Selain itu, dayah yang terbukti pimpinannya melakukan pelanggaran asusila harus ditutup permanen, dan oknumnya di-blacklist.


“Kalau tidak ada sanksi tegas, kasus akan terus berulang. Kita tidak boleh lagi sekadar menutup-nutupi. Jangan sampai demi menjaga citra, kita mengorbankan generasi,” tegasnya.


Kasus ini, menurut Gusmawi, bukan hanya persoalan hukum. Lebih dari itu, ia adalah tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat Aceh. Orangtua, ulama, pemerintah, hingga masyarakat sipil harus bersatu.


“Santri dan wali santri perlu diberi pemahaman kritis. Menghormati guru bukan berarti membenarkan setiap perbuatannya. 

Kita harus bisa membedakan mana ustaz yang benar-benar ikhlas mendidik, dan mana yang hanya bersembunyi di balik sorban untuk memuaskan nafsu setan,” ujarnya.


Aceh, yang ingin dikenal sebagai teladan Syariat Islam di Nusantara, kini menghadapi ujian berat. Skandal asusila di dayah bukan sekadar kasus individu, tetapi pengkhianatan terhadap agama, masyarakat, dan masa depan generasi.


“Jika kita diam, kepercayaan publik akan hancur. Kalau kita tegas, kita bisa menyelamatkan dayah sebagai benteng akhlak. Pilihannya ada di tangan kita semua,” pungkas Gusmawi.


Laporan : Hartini