Jakarta - Kisruh dugaan mafia tanah di Labuan Bajo bermula dari penguasaan 40 hektar oleh Santosa Kadiman atau disapa Erwin Bebek asal Jakarta. Dirinya diduga jadi makelar tanah bagi The Hotel St Regis Labuan Bajo dan juga sebagai pembeli 40 hektar dari penjual Nikolaus Naput 2014.
Erwin Bebek bekerjasama dengan anak Fungsionaris Ulayat Ishaka (alm.2003), yaitu Haji Ramang Ishaka. Padahal alas hak tanah 40 ha tersebut tidak pernah ada. Luas 40 ha tersebut hanya berdasarkan pengukuran elektronik
google map, yang dilakukan oleh seorang staf Santosa Kadiman dan seorang staf Haji Ramang, tanpa petugas BPN.
Fakta kemudian memunculkan komplain dari warga pemilik tanah yang ditumpang tindih oleh 40 ha
Santosa Kadiman (SK) pasca ground breaking The Hotel St.Regis 2023. Ia lanjutkan menggusur tanah tersebut dan bukan saja tanah warga yang ditumpang tindih, tapi juga diduga tanah Pemda.
Hal tersebut terungkap dari gugatan perdata dari pemilik tanah yang memperlihatkan fakta-fakta di persidangan.
Dr. (c) Indra Triantoro, S.H, M.H, salah satu dari tim Kuasa Hukum Penggugat pemilik tanah 11 ha di Kerangan Kel. Labuan Bajo, Manggarai Barat dalam rilisnya, Kamis (11/9/2025). Indra sapaan akrabnya menginfokan beberapa fakta persidangan perkara No.1/Pdt.G/2024/PN.Lbj sebagai berikut:
Fakta pertama; tanah 11 ha milik ahli waris Ibrahim Hanta sejak 1973 ternyata diklaim tercakup dalam 40 hektar tersebut, dengan cara Santosa Kadiman dkk mulai mengukur tanah itu untuk disertifikatkan terbit SHM diatasnya 2017 (+- 5 ha).
Fakta kedua; ternyata terungkap di persidangan bahwa klaim tanah 40 ha SK itu tanpa bukti alas hak tanah. Memang ada surat alas hak 10 Maret 1990 dan 21 Oktober 1991, tapi surat 1990 itu tidak ada aslinya dan surat yang 1991 dibatalkan fungsionaris adat pada 1998.
Fakta ketiga; perkara 11 ha no.1/2024 itu sudah dimenangkan pemilik tanah di Pengadilan Negeri (PN) dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi (PT), namun Santosa Kadiman masih juga ajukan kasasi dengan alasan utama 'tidak menerima pembatalan tanah oleh fungsionaris adat.
Padahal oleh Haji Ramang sendiri selaku anak Fungsionaris adat memberikan keterangan kesaksian dalam perkara Tipikor 30 ha tanah Pemda 2021 bahwa tanah Nikolaus Naput dan Beatrix Seran (yang dijual kepada SK, PPJB 2014) sudah dibatalkan oleh fungsionaris adat 1998.
Isi putusan itu adalah; tanah 11 ha sah milik penggugat, SHM an tergugat tidak sah, karena salah lokasi, cacat yuridis dan cacat administrasi, surat alas hak tidak ada aslinya alias fotocopy saja, dan hanya perikatan kepada pihak ketiga (PPJB) batal demi hukum.
Fakta keempat: Hasil investigasi Satgas Mafia Tanah Kejagung RI melaporkan hasil pemeriksaan intelijennya 23 Agustus dan 23 September 2024 bahwa semua SHM atas nama Nikolaus Naput dan anaknya (red - yang dijual ke Santoso Kadiman sesuai PPJB 40 ha) tidak sah. Hal ini dikarenakan cacat administrasi, salah lokasi, cacat yuridis, dan tanpa alas hak asli, dan hanya perikatan perdata dengan pihak ketiga tidak sah (PPJB 40 ha tahun2014).
Fakta kelima; Adanya surat satgas mafia tanah Kejagung tanggal 23 Agustus 2024 kepada Bupati Kabupaten Manggarai Barat untuk mengawasi PT. Bumi Indah Internasional (red-Dirutnya Santosa Kadiman) pelaksana IMB Hotel St.Regis Labuan Bajo (red-diperoleh PT. Bangun Indah Internasional dari Pemprov NTT), untuk diawasi karena ditemui membangun diatas tanah sengketa (tanah milik orang lain).
Fakta keenam; bukan saja pemilik tanah 11 ha, tapi juga 7 (tujuh) orang pemilik tanah 3,1 hektar menggugat Santosa Kadiman pembeli 40 ha di PPJB tersebut, sebagaimana diungkap Kuasa Hukum di
tim PH penggugat, Ni Made Widiastanti, S.H, sebagai berikut: Tujuh (7) pemilik tanah 3,1 ha terletak di bagian barat Jl. Raya Labuan Bajo - Batu Gosok, yang ditumpang tindih 40 ha PPJB tersebut, menggugat Santosa Kadiman dkk, termasuk PT. Bangun Indah Internasional dan PT. Bumi Indah Internasional) di PN Labuan Bajo, register perkara Perdata no.32, 33, 41 dan 44 sejak April 2025.
Anehnya, surat alas hak 21 Oktober 1991 yang sudah batal 1998 itu, yang jelas-jelas terletak di sebelah timur Jl. Raya Labuan Bajo - Batu Gosok, spanduknya dipasang di lahan 3,1 ha, plus tanah tersebut dikuasai Santosa Kadiman sejak April 2023 sampai saat ini.
Fakta ketujuh; "PN Labuan Bajo memfasilitasi mediasi damai perkara perdata 3,1 ha tersebut, namun
Santosa Kadiman masih ingin melanjutkan proses perkara, entah apalagi alasannya," tambah Indah
Wahyuni, S.H., anggota tim Kuasa Hukum Penggugat.
Dugaan Mafia Tanah Akan Dilaporkan ke Bawas MA
Di luar fakta persidangan, publik nasional juga ikut bersuara menentang aksi mafia tanah 40 ha Santosa Kadiman, sebagaimana disampaikan Gus Din, Koordinator ARPG (Aliansi Relawan Prabowo Gibran) di Jakarta, Kamis (11/9/2025).
"Kami ARPG peduli dengan ketidakadilan yang menimpa sebagian rakyat di Labuan Bajo, karena itu
kami beberapa bulan lalu melakukan demo di Kantor Bawas Mahkamah Agung, agar perkara gugatan
rakyat pemilik tanah terhadap Santosa Kadiman dkk segera diputuskan supaya penderitaan pemilik tanah segera berakhir," kata Gus Din.
Menurutnya, Erwin Bebek (Santosa Kadiman) ini diduga sudah membuat susah warga dan sangat kejam dengan menghalalkan segala cara untuk
meraih ambisinya. Erwin Bebek selaku pembeli 40 ha tanah Kerangan yang tanpa satupun surat tanah yang asli, semua hanya foto copy dan letak lokasi tanahnya ngawur.
"Memang ada yang asli, tapi itu sudah dibatalkan fungsionaris adat. Erwin Bebek ini adalah Pembeli beriktikad tidak baik karena batas-batas tanah 40 ha yang di beli sampai ke tanah pemerintah daerah Kabupaten Manggarai Barat dan mungkin sampai laut," ucapnya.
Hal ini kata Gus Din, sungguh
merusak iklim investasi di Labuan Bajo karena merusak tanah-tanah milik warga pemilik. Dimana dengan bermodalkan surat tanah fotocopy dan membangun pabrik pengolahan batu dan kerikil di atas tanah tersebut.
"Dia Erwin Bebek juga diduga menggunakan cara-cara preman untuk memagar tanah milik warga," tutup Gus Din.
Premanisme Dalam Penyerobotan Tanah di Labuan Bajo
Kesan premanisme dan intimidasi sering dialami oleh pemilik tanah yang ditumpang tindih oleh 40 ha Santosa Kadiman, sebagaimana diungkapkan Mikael Mensen (65), ahli waris tanah 11 ha Kerangan, Labuan Bajo.
"Beberapa bulan lalu, sekitar pukul 04.00 WIT atau sekitar subuh, saya didatangi 4 (orang). Saya tahu mereka orang suruhan Santosa Kadiman. Mereka menyodorkan surat untuk ditandatangani disertai ancaman. Di surat itu tertulis harga yang sangat murah untuk total tanah 11 hektar," ujarnya.
Menurut Mikael Mensen, tindakan itu bukan saja intimidasi tapi juga
penghinaan, sekali lagi, penghinaan terhadap harkat dan martabat pemilik tanah warisan leluhur di Labuan Bajo.
"Saya nekat melawan pagi subuh itu. Saya hanya takut Tuhan. Untung mereka segera pergi, jika tidak warga keluarga besar segera tiba dan entah apa yang terjadi," ucap Mikael sapaan akrabnya, Kamis (11/9/2025).
Lapor Kementerian Hukum dan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan
Sementara itu, selagi proses perkara perdata berjalan untuk tanah milik 7 (tujuh) orang di bukit Kerangan, Labuan Bajo, Zulkarnain salah satu dari pemilik tanah 3,1 ha di bukit Kerangan, akan segera mengadu ke Satgas Mafia tanah Kejaksaan Agung. Dirinya akan melaporkan Santosa Kadiman dkk, PT. Bangun Indah Internasional dan PT. Bangun Indah Internasional.
"Selain lapor ke Satgas Mafia Tanah, kami akan laporkan kedua PT tersebut ke Kementerian Hukum (Kemenhuk) dan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenku)," ucap Zulkarnain.
Masyarakat Labuan Bajo welcome dan bersyukur investor membangun Labuan Bajo, sebagai salah satu destinasi pariwisata super premium. Tetapi harus tetap berkeadilan terhadap siapapun, apalagi terhadap para pemilik tanah.
"Kami optimistis menang atas semua perkara yang melawan Santosa Kadiman yang mengklaim pemilik 40 ha tanah fiktif di Labuan Bajo," kata Jon Kadis, S.H., salah satu anggota tim Kuasa
Hukum Penggugat yang berdomisili di Labuan Bajo, Selasa (9/9/2025).
Tim kuasa hukum para penggugat adalah kantor Advokat Sukawinaya 88 & Partners, yang diketuai oleh Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, beranggotakan Dr. (c) Indra Triantoro, D.H.,M.H., Jon Kadis, S.H., Ni Made
Widiastanti, S.H, dan Indah Wahyuni, S.H. (red)