"Tak Berani Hadir, Buktikan Meritokrasi Gubernur Iqbal: Bau Terasi Bakar, Rasa Pengkhianatan & Cuma Label”

Barsela24news.com



Oleh: Ardiansyah Direktur NasPol NTB

Mataram, NTB - Saat publik mulai meragukan arah kebijakan pemerintahan baru di NTB, seharusnya para pemimpin hadir dan membuka ruang dialog. Namun, apa yang terjadi pada Dialog Pojok NTB pada malam Sabtu, 16 Mei 2025, justru menegaskan satu hal: meritokrasi yang digadang-gadang oleh Gubernur Iqbal saat kampanye dan di awal masa jabatannya ternyata tak lebih dari jargon kosong.

Dialog yang mempertemukan ratusan aktivis, politisi, mantan birokrat, dan warga sipil itu sejatinya menjadi momen penting. Apalagi isu utama yang dibahas adalah soal mutasi pejabat eselon 2 dan 3 yang dilakukan pada 30 April lalu—isu yang menjadi sorotan tajam karena diduga jauh dari prinsip meritokrasi. Namun alih-alih hadir atau mengirim perwakilan, baik Gubernur Iqbal maupun pejabat terkait justru memilih diam. Atau kirim saja perwakilan, bisa tim penguji Job Fit seperti Chaerul Mahsul atau Dr. Prayitno Basuki atau juga kepala BKD NTB Tribudi Prayitno, tapi boro-boro, tidak ada sama sekali, baik dari tim Penguji Job Fit, ataupun Kepala BKD, bahkan tak ada satu pun representasi Pemprov yang bersedia berdialog dengan rakyatnya.

Meritokrasi, yang katanya menjadi pijakan utama Gubernur Iqbal dalam memilih pejabat, kini tinggal slogan. Dalam praktiknya, publik menyaksikan penempatan jabatan yang tidak mencerminkan kompetensi maupun rekam jejak kinerja. Sosok-sosok di balik layar seperti CM, FB, OJK, AH, DF, bahkan diduga keluarga internal Gubernur disebut-sebut sebagai penentu di balik skema mutasi. Mekanisme job fit yang seharusnya menjadi instrumen objektif, hanya menjadi formalitas belaka, gugur kewajiban, istilah yang kini populer di kalangan birokrasi NTB.

Ketika publik menanyakan keabsahan proses itu dalam forum terbuka, Pemerintah justru memilih menghindar. Ketidakhadiran mereka dalam forum diskusi publik bukan hanya menunjukkan lemahnya komitmen terhadap transparansi, tapi juga penghinaan terhadap akal sehat warga NTB. Jika memang langkah-langkah mutasi sudah sesuai dengan sistem merit, mengapa takut untuk menjelaskan? Mengapa enggan berdialog?

Janji-janji kampanye Iqbal tentang tata kelola pemerintahan yang profesional kini terasa seperti terasi bakar, baunya memang menyengat, menggugah selera, tapi saat dicari-cari, tak ada yang bisa dinikmati. Ia hanya harum di hidung, tapi nihil rasa di lidah. Kebijakan tanpa keberanian menjelaskan pada publik hanyalah propaganda, bukan reformasi.

Rakyat NTB tak butuh gimik. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang jujur, terbuka, dan berani mempertanggungjawabkan setiap keputusan. Jika meritokrasi hanya menjadi alat politik, maka siap-siap saja, ketidakpercayaan publik akan menjelma menjadi gelombang koreksi yang lebih besar.

Red
Tags