Jejak Transaksi Politik Lewat Tambang - Skandal Sunyi di Balik Blok Onto dan Sekotong

Barsela24news.com



Oleh: Ardiansyah Direktur NasPol NTB 

Mataram, NTB - 18 Mei 2025, Kalimat ini bukan satire biasa, melainkan potret nyata dari politik transaksional yang kian banal di republik ini. Ketika seorang calon gubernur di Sumatera Utara mengaku ditawari Rp300 miliar oleh mafia tanah demi kursi kekuasaan, kita tahu bahwa panggung demokrasi telah berubah menjadi medan dagang kuasa. Yang diperjualbelikan bukan lagi ide, tapi izin. Bukan lagi integritas, tapi intensitas lobi-lobi tambang.

Mari kita berjalan-jalan ke Sulawesi Tenggara, tempat di mana Nur Alam, sang gubernur, tersandung karena mengubah izin eksplorasi tambang menjadi izin produksi. Uang mengalir, dan sayangnya bukan ke kas daerah, tapi ke saku kekuasaan. Di Kalimantan Timur, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dengan gagahnya mengantongi Rp6 miliar dari pengusaha sawit bukan untuk menanam pohon, tapi untuk menanam baliho.

Semuanya tampak rapi. Legal secara dokumen, haram secara tujuan. Di balik meja kantor kepala daerah, tak jarang ada draft izin yang menanti tanda tangan. Tapi, konon tinta pulpen tak akan menetes jika amplop belum mendarat.

Menurut laporan PPATK (2023), terdapat aliran dana mencurigakan dari sektor pertambangan ke rekening pribadi beberapa kepala daerah. Dana tersebut tak sekadar untuk “operasional politik,” tapi juga untuk membeli loyalitas, baliho, bahkan buzzer digital. Tambang emas, nikel, batubara bukan lagi sumber daya alam, tapi “sumber dana aman”.

Laporan KPK tahun 2022 menyebutkan bahwa setidaknya 171 kepala daerah memiliki keterkaitan dengan praktik politik transaksional dalam pemberian izin usaha tambang, kehutanan, dan perkebunan. Ironisnya, semua ini terjadi saat rakyat sedang sibuk demo minta jalan, minta pupuk, dan minta diperhatikan. Tapi mereka lupa satu hal: rakyat bukan pemodal.

Sementara itu, masyarakat adat kehilangan hutan mereka, nelayan kehilangan lautnya, dan petani kehilangan sawahnya. Semua atas nama “izin”, yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang yang bisa menghitung suara dengan kalkulator investasi.

Buku “Resource Curse” (Auty, 1993) menyebutkan bahwa negara kaya sumber daya alam cenderung gagal membangun demokrasi dan justru rentan terhadap korupsi. Indonesia, dengan 10.918 izin usaha tambang aktif (ESDM, 2024), seharusnya menjadi negeri emas. Tapi yang tampak hanyalah elite yang semakin kenyang dan rakyat yang tetap kurus.

Pertanyaan Menggugah Nurani

Dan di tengah semua ini, masyarakat hanya bisa bertanya bukan menuduh, hanya merenung:

Apakah benar isu soal uang 60 Miliar yang dikirim lewat private jet sebelum Pilkada itu berasal dari oligarki tambang yang mengincar Dompu dan Sekotong?

Apakah benar langit Nusa Tenggara Barat disibukkan oleh jet pribadi sementara tanahnya terus digali tanpa henti?

Apakah rakyat hanya akan terus mendengar janji, sementara tanah mereka dijadikan agunan kuasa?

Demokrasi tanpa moral ibarat tambang tanpa reklamasi meninggalkan lubang besar, dalam, dan tak berguna. Jika kepala daerah menjadi “marketing tambang”, maka rakyat hanya menjadi penonton dalam drama politik yang mahal. Tapi tentu, yang membayar tiketnya tetap rakyat.

Bila kelak pemimpin dipilih bukan karena kapabilitas, melainkan karena dia paling banyak menjual izin tambang, kita tak sedang hidup dalam demokrasi. Kita sedang digali perlahan, pasti, sampai habis. (Red)