Jakarta, 2 Mei 2025 —
Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, dan Hari Pendidikan Nasional bukan hanya waktu untuk mengenang Ki Hajar Dewantara, tetapi juga momentum menagih tanggung jawab negara—termasuk pemerintah daerah—atas kualitas dan keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan. GERAK (Gerakan Rakyat Jakarta), sebagai perkumpulan masyarakat sipil, menyerukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk tidak sekadar menyatakan program pendidikan gratis, tetapi juga berani mengatasi ketimpangan dan krisis mutu yang masih mengakar.
Data dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta menunjukkan bahwa meskipun angka partisipasi sekolah di jenjang dasar (SD-SMP) mendekati 100%, angka partisipasi murni di jenjang SMA/SMK masih di angka 75,8% (per 2024). Ini berarti 1 dari 4 anak usia SMA di Jakarta tidak mengenyam pendidikan formal sesuai usianya. Ketimpangan ini paling banyak terjadi di wilayah Jakarta Utara, Kepulauan Seribu, dan kantong permukiman informal di Jakarta Timur.
Ketimpangan kualitas antarsekolah negeri dan swasta juga melebar. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2023, hanya 41% sekolah negeri tingkat SMP di Jakarta yang memiliki capaian literasi dan numerasi di atas rata-rata nasional. Banyak sekolah negeri di daerah padat penduduk menghadapi kekurangan guru tetap, fasilitas belajar yang terbatas, dan beban administratif yang tinggi.
Kebijakan zonasi yang semula dimaksudkan untuk pemerataan justru sering menimbulkan eksklusi. Di banyak kasus, siswa dari keluarga miskin sulit mengakses sekolah unggulan karena tidak berdomisili di sekitar lokasi sekolah tersebut—padahal mereka tinggal di kota yang sama. Pendidikan Jakarta menjadi cermin segregasi sosial, belum menjadi jembatan mobilitas sosial.
Belum lagi tantangan bagi siswa dari kelompok disabilitas. Meskipun Pemprov telah menggulirkan program Sekolah Inklusif, data dari Komisi Nasional Disabilitas menyebutkan bahwa hanya 2,8% anak disabilitas di Jakarta yang mengakses pendidikan formal secara berkelanjutan. Infrastruktur sekolah yang tidak ramah disabilitas, kurangnya guru pembimbing khusus, serta stigma sosial menjadi penghambat utama.
Dalam aspek anggaran, alokasi sektor pendidikan memang cukup besar, yaitu sekitar Rp22,4 triliun atau 27,7% dari total APBD 2025. Namun, belanja pendidikan masih didominasi untuk belanja pegawai dan operasional, bukan pada penguatan kualitas pengajaran, literasi digital, atau intervensi ketimpangan. Minimnya porsi untuk inovasi dan penguatan komunitas belajar di wilayah miskin kota perlu segera dikoreksi.
GERAK Jakarta mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk mengambil langkah strategis dan terukur, yaitu:
1. Melakukan audit menyeluruh terhadap pemerataan kualitas layanan pendidikan di semua wilayah kota.
2. Mengalokasikan dana afirmatif khusus untuk siswa dari keluarga tidak mampu dan kelompok rentan (disabilitas, anak jalanan, dan buruh migran domestik).
3. Meningkatkan kapasitas guru, terutama di sekolah negeri pinggiran dan inklusif, melalui pelatihan berbasis praktik mengajar dan kesejahteraan.
4. Membuka ruang partisipasi warga dalam perencanaan dan pengawasan pendidikan di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Pendidikan Jakarta harus menjadi gerakan keadilan sosial, bukan sekadar proyek anggaran. Jika pendidikan tetap direduksi menjadi soal fasilitas dan nilai ujian, maka Jakarta sedang membangun masa depan yang timpang dan tidak setara. Pendidikan yang bermutu dan merata adalah syarat mutlak bagi Jakarta sebagai kota yang adil dan berpihak pada warganya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Majukan pendidikan, hadirkan keadilan.
_Kontak Media_: @Vichy +62 857-7668-8958
GERAK Jakarta (Gerakan Rakyat Jakarta)