Oleh: Ardiansyah Direktur NasPol NTB
Mataram, NTB - Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) merupakan dana yang penggunaannya telah diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Namun, laporan terbaru menunjukkan adanya dugaan penyimpangan alokasi DBHCHT senilai Rp. 162,9 miliar oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang diduga diarahkan untuk mengakomodasi pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD. Kami mengkritisi praktik tersebut dari sudut pandang tata kelola keuangan daerah, serta menyoroti potensi pelanggaran regulasi, lemahnya pengawasan, dan pengabaian terhadap masyarakat tembakau.
Dana DBHCHT sejatinya merupakan instrumen fiskal yang diarahkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat tembakau, penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal, serta peningkatan layanan kesehatan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 secara tegas mengatur bahwa penggunaan dana DBHCHT tidak boleh keluar dari koridor tiga prioritas utama. kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum (termasuk pemberantasan rokok ilegal), dan kesehatan.
Namun, di Provinsi NTB, muncul dugaan bahwa dana DBHCHT senilai 162,9 miliar telah disalahgunakan untuk mengakomodasi pokir anggota DPRD, yang secara hukum tidak diperkenankan menggunakan dana earmarked seperti DBHCHT. Ini adalah bentuk nyata penyimpangan dalam tata kelola anggaran yang melukai kepentingan publik.
Analisis Dugaan Penyimpangan
DBHCHT bukan dana fleksibel. Sesuai PMK 215/2021, 50% dari total dana wajib dialokasikan untuk program kesejahteraan masyarakat, khususnya petani dan buruh tembakau. Namun kenyataannya, kesejahteraan kelompok ini di NTB masih stagnan. Mereka masih menghadapi persoalan mendasar seperti kekurangan pupuk, keterbatasan obat-obatan pertanian, dan rendahnya akses terhadap teknologi tembakau. Kondisi ini menunjukkan bahwa alokasi DBHCHT tidak berpihak pada kelompok yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Lebih parah lagi, muncul dugaan bahwa sebagian besar dari Rp. 162,9 miliar dana DBHCHT justru diarahkan untuk pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD NTB, suatu praktik yang secara regulatif tidak sah dan tidak etis. Pokir hanya dapat diakomodasi melalui dana reguler yang sesuai dengan hasil Musrenbang, bukan dari DBHCHT yang bersifat earmarked dan terbatas.
Permintaan Penjelasan Kepala Bappeda
Dalam konteks ini, Kepala Bappeda Provinsi NTB wajib memberikan klarifikasi publik ke mana sebenarnya alokasi dana DBHCHT Rp. 162,9 miliar tersebut disalurkan? Siapa saja penerima manfaatnya? Apakah betul pokir DPRD telah menjadi bagian dari alokasi dana tersebut?
Bappeda sebagai lembaga perencana daerah seharusnya menjadi benteng terakhir untuk menjaga integritas penganggaran. Namun jika terbukti turut membuka celah terhadap intervensi politik dalam pengalokasian DBHCHT, maka Bappeda tidak hanya gagal menjalankan fungsinya, tapi juga berpotensi melanggar prinsip good governance dan asas keuangan negara.
Kegagalan Memberantas Rokok Ilegal
Salah satu prioritas utama penggunaan DBHCHT adalah penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal. Namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa peredaran rokok tanpa pita cukai di NTB semakin marak, bahkan ditemukan di berbagai toko kecil hingga pasar-pasar tradisional.
Dinas Perdagangan dan Dinas Satpol PP, serta pihak berwenang lainnya tampak gagal menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan yang menjadi bagian dari tugas mereka. Pertanyaannya, ke mana dana 10% DBHCHT untuk pemberantasan rokok ilegal dialirkan? Apakah digunakan secara optimal? Jika ya, mengapa hasilnya nyaris tak terlihat?
Fenomena ini menunjukkan bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk operasi bersama, edukasi konsumen, serta penguatan regulasi dan pengawasan pasar, justru lenyap tanpa hasil nyata. Ini adalah bentuk pemborosan anggaran yang seharusnya bisa menyelamatkan keuangan negara dari kebocoran cukai dan melindungi industri legal yang taat pajak.
Konsekuensi Hukum dan Moral
Dugaan pengalihan DBHCHT ke pokir DPRD merupakan pelanggaran serius terhadap PMK dan UU Keuangan Negara. Bila terbukti ada unsur kesengajaan, hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang.
Secara moral, ini juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat tembakau yang menjadi tulang punggung DBHCHT itu sendiri. Ketika petani dan buruh masih berjuang dengan minimnya bantuan, pejabat daerah justru mengobral anggaran untuk agenda politik yang dibungkus “aspirasi rakyat.”
Penutup dan Rekomendasi
Kasus dugaan alokasi Rp. 162,9 miliar DBHCHT sebagai pokir DPRD NTB, serta kegagalan pemberantasan rokok ilegal, adalah *indikasi rusaknya tata kelola keuangan daerah dan lemahnya fungsi pengawasan internal.* Bappeda sebagai institusi teknokratis telah berubah menjadi alat politis, dan dinas-dinas terkait gagal menjalankan amanah undang-undang.
Kami menuntut:
1. Audit forensik oleh Kementerian Keuangan dan BPK terhadap penggunaan DBHCHT di Provinsi NTB.
2. Pemanggilan Kepala Bappeda oleh publik atau DPRD untuk menjelaskan secara terbuka rincian distribusi dana DBHCHT.
3. Penguatan pengawasan pemberantasan rokok ilegal oleh Satpol PP, Bea Cukai, dan Disperindag melalui penggunaan dana DBHCHT yang tepat sasaran.
4. Transparansi digital anggaran DBHCHT yang dapat diakses publik secara real-time.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka perencanaan anggaran kita tidak lebih dari panggung transaksional kekuasaan. Dan yang paling dirugikan, lagi-lagi, adalah rakyat kecil petani tembakau dan buruh pabrik rokok. (Red)