oleh: Muhammad Fawazul Alwi, Mahasiswa Universitas Teuku Umar & Ketua PD Gerakan Pemuda Al-Washliyah Aceh Barat.
Warung kopi (Warkop) di Aceh bukanlah sekadar tempat minum kopi, melainkan sebuah institusi sosial yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Secara antropologis, Warkop di Aceh berfungsi sebagai ruang publik inklusif, yang saya menyebutnya "Mimbar Debat". Di sini kesenjangan sosial sejenak hilang. petani duduk bersebelahan dengan pegawai negeri, pedagang beradu argumen dengan pemuda, semuanya diikat oleh ritual mengaduk kupi saring yang khas. Kopi menjadi media, bukan tujuan utama. Filosofi ini diperkuat oleh tradisi seperti Kupi Khop di pesisir Barat Selatan Aceh, di mana cangkir kopi yang terbalik melambangkan kesabaran dan kearifan, menegaskan bahwa Warkop ini adalah ruang untuk bertukar kabar, nasihat, dan solusi.
Berdasarkan apa yang saya amati, saya melihat adanya perbedaan krusial antara Warkop di Gampong dan di Kota. Di Gampong, Warkop masih murni menjalankan fungsi tradisionalnya sebagai arena perdebatan dan diskusi (mupakat) masyarakat. Ini adalah tempat para tokoh adat dan pemuda berkumpul untuk membahas masalah desa, merencanakan kenduri, atau sekadar menjaga silaturahmi. Topik yang beredar adalah urusan komunal, mulai dari harga panen, diskusi program pemerintah, hingga jadwal pengajian. Di sini, interaksi tatap muka, kontak mata, dan komunikasi lisan yang kuat menjadi modal utama kohesi sosial. Warkop di Gampong adalah benteng budaya lisan yang resisten (bertahan) terhadap perubahan cepat.
Namun, ketika Warkop beralih ke lingkungan perkotaan, terjadi pergeseran sosio-ekonomis yang signifikan. Masuknya modernitas, terutama melalui ketersediaan Free Wi-Fi, telah mengubah karakter ruang ini. Jika di Gampong orang datang untuk saling berbicara, di Kota, mulai banyak pengunjung datang untuk "nongkrong tanpa interaksi" terhubung ke jaringan digital, tetapi terputus dari orang-orang di sekelilingnya. Warung kopi modern telah berevolusi menjadi "kantor kedua" atau tempat berkreasi bagi pekerja lepas dan mahasiswa. Wi-Fi gratis mengubah nilai utilitas warung kopi: dari tempat bertukar pikiran, kini menjadi tempat bertukar data. Konsumsi kopi berubah menjadi konsumsi individual yang ditemani layar gadget. Tetapi, tidak seolah-olah hanya Warkop di kawasan kota yang terdapat Free Wi-Fi, sebagian Warkop yang berada di Gampong yang menyediakan Free Wi-Fi, namun perubahan sosial & budaya tidak terlalu signifikan.
Perubahan ini menimbulkan dilema: Warkop modern memang mendorong pertumbuhan ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja bagi barista, dan meningkatkan citra kopi Aceh di kancah global. Namun, di sisi lain, kapitalisasi ruang melalui branding yang trendy dan harga yang lebih tinggi cenderung menciptakan segmentasi kelas sosial. Warkop kini bukan lagi ruang yang sepenuhnya demokratis; ia mulai menarik segmen masyarakat yang memprioritaskan kenyamanan, estetika, dan konektivitas digital. Akibatnya, esensi warung kopi sebagai simpul kekerabatan dan musyawarah terancam mulai terkikis, digantikan oleh budaya individualisme terhubung (connected individualism) di mana seseorang hadir secara fisik, tetapi jiwanya terikat pada dunia maya. Warisan budaya Warkop Aceh kini menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan kedalaman interaksi manusianya di tengah arus deras modernitas digital.