Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum (PU) yang menjabat selama 14 tahun di era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto.
"Atap Bocor dan Listrik Dicabut, Jejak Sunyi Sang Gajah Mada Indonesia"
JAKARTA – Di tengah gemerlap kekuasaan yang sering kali identik dengan kemewahan, sejarah Indonesia menyimpan satu nama yang kisahnya terdengar mustahil di telinga generasi hari ini. Ia adalah Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum (PU) yang menjabat selama 14 tahun di era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto. Di bawah tangannya, megaproyek seperti Jembatan Ampera, Gedung DPR/MPR, hingga Waduk Jatiluhur berdiri megah. Namun, di balik kemegahan beton-beton tersebut, sang arsitek justru hidup dalam kesunyian yang mencekam: kemiskinan yang murni.
ATAP BOCOR DI RUMAH PINJAMAN
Kesederhanaan Sutami bukan sekadar pencitraan. Suatu ketika di masa pensiunnya, publik dikejutkan dengan kondisi rumah pribadinya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Saat itu, hujan deras mengguyur ibu kota, dan tamu yang berkunjung mendapati sang mantan menteri sedang sibuk menaruh ember di lantai. Bukan untuk menyiram tanaman, melainkan menampung tetesan air dari atap rumahnya yang bocor parah.
Sutami tak punya uang untuk memperbaiki atap tersebut. Ironis bagi seorang pria yang telah membangun ribuan kilometer jalan dan jembatan kokoh di seluruh nusantara. Bahkan, rumah yang ia tempati pun diperoleh melalui cicilan panjang yang baru lunas menjelang akhir hayatnya.
LISTRIK DIPUTUS KARENA TAK SANGGUP BAYAR
Puncak dari getirnya hidup Sutami terekam saat PLN terpaksa mencabut aliran listrik di rumahnya. Alasannya sederhana namun menyakitkan: sang mantan menteri menunggak tagihan listrik karena tidak memiliki uang tunai. Ia tidak pernah menggunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadi. Baginya, uang negara adalah amanah yang haram menyentuh dompet pribadinya.
Ia juga dikenal sering menolak fasilitas negara. Saat meninjau proyek di daerah terpencil, Sutami lebih sering terlihat membawa bekal nasi bungkus sendiri dan tidur di barak pekerja, ketimbang menginap di hotel mewah atau menerima uang saku berlebih.
PENYAKIT YANG TAK MAMPU DIOBATI
Tragedi sesungguhnya terjadi saat kesehatan Sutami menurun. Ia menderita sakit liver yang parah akibat kelelahan bekerja tanpa henti. Namun, karena tidak memiliki biaya untuk berobat ke rumah sakit yang layak, ia sempat ragu untuk memeriksakan diri. Baru setelah Presiden Soeharto turun tangan dan memerintahkannya untuk berobat ke luar negeri, Sutami bersedia menjalani perawatan.
Namun, raga yang sudah terlalu lelah itu menyerah. Pada 13 November 1980, "Gajah Mada" modern ini menghembuskan napas terakhirnya. Ia pergi tanpa meninggalkan harta benda, tanah luas, atau tumpukan saham. Ia hanya meninggalkan warisan berupa infrastruktur yang hingga hari ini masih dinikmati jutaan rakyat Indonesia.
Kisah Ir. Sutami adalah tamparan keras bagi realita birokrasi modern. Ia membuktikan bahwa integritas bukanlah sesuatu yang bisa dibeli. Di atas pusaranya di TPU Tanah Kusir, tertulis nama seorang pria yang membuktikan bahwa menjadi pejabat tinggi tidak harus berakhir kaya raya, namun bisa berakhir dengan kehormatan yang abadi.
Indonesia mungkin akan membangun seribu jembatan lagi, namun mencari satu sosok sesederhana dan sejujur Sutami mungkin butuh waktu seribu tahun lagi. (*)
SUMBER REFERENSI:
Buku "Sutami: Menteri yang Bersahaja" - Arsip Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dokumentasi Sejarah Kementerian PUPR mengenai tokoh-tokoh inspiratif teknik sipil Indonesia.
Majalah Tempo, Edisi Khusus Tokoh Bangsa: "Sutami, Menteri yang Tak Punya Uang".
Catatan sejarah dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
