RUU Masyarakat Hukum Adat Harus Beri Ruang yang Adil bagi Masyarakat Adat

Barsela24news.com
    Anggota Badan Legislasi DPR RI Ledia                        Hanifa Amaliah

Jakarta,- Anggota Badan Legislasi DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menegaskan pentingnya kejelasan regulasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat agar mampu memberikan ruang yang adil bagi masyarakat adat, baik dari sisi administratif maupun ekonomi.

“Selama beberapa tahun terakhir, RUU Masyarakat Hukum Adat memang sudah dibahas sejak periode sebelumnya. Namun karena inisiatifnya berasal dari DPR, pembahasan belum bisa dilanjutkan sebagai carry over. Dari sisi legislatif, kita perlu memastikan regulasi yang disusun benar-benar berpihak pada masyarakat adat,” ujar Ledia dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/10/2025).

Politisi PKS ini menilai salah satu persoalan utama yang perlu dikaji secara mendalam adalah persoalan definisi dan pencatatan masyarakat hukum adat. Selama ini, belum ada keseragaman pemahaman di internal pemerintah terkait terminologi dan wilayah masyarakat adat.

“Harus jelas dulu definisinya (masyarakat adat). Karena selama ini, desa adat, desa budaya, atau kampung adat sering kali dipahami berbeda-beda oleh lembaga pemerintah. Kalau hal ini tidak didefinisikan secara tegas di RUU, nanti akan muncul persoalan administratif dan klaim wilayah,” jelasnya.

Ledia juga menyoroti pentingnya pencatatan administratif agar masyarakat hukum adat dapat memperoleh perlindungan hukum dari negara, tanpa menghilangkan kearifan lokal mereka. “Kita tidak bisa memaksa masyarakat hukum adat masuk dalam kerangka administratif pemerintahan daerah, tapi untuk diakui oleh negara, pencatatan tetap perlu dilakukan,” tambahnya.

Dalam aspek ekonomi, Ledia menekankan pentingnya penyusunan regulasi yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan pengusaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi juga memberi ruang bagi masyarakat adat untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan.

“Alhamdulillah, ada masyarakat adat yang sudah berhimpun dan membentuk perseroan terbatas serta mendaftar lewat OSS. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak didampingi? Ini PR besar kita untuk memastikan masyarakat adat tetap bisa hidup dan berkembang tanpa terbebani syarat administratif yang berat,” tutur anggota Komisi X DPR RI ini pula.

Selain itu, Ledia juga mengingatkan pentingnya perubahan mindset dalam melihat masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat adat bukan sekadar kelompok marginal yang harus dibantu, melainkan masyarakat dengan potensi besar dan perlu diakselerasi pertumbuhan ekonominya.

“Saya sangat percaya masing-masing daerah ini, mereka akan punya potensi masing-masing dengan pendampingan, karena mau tidak mau harus dibangunkan jembatan antara sudut pandang ekonomi ekstraktif dengan ekonomi kerakyatan yang ada di masyarakat adat, harus ada yang membangunkan jembatan. Dan alhamdulillah ada banyak koalisi masyarakat sipil yang sudah membangunkan jembatannya,” jelasnya.

Ledia menekankan bahwa keberhasilan penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat terletak pada keberpihakan regulasi terhadap keberlanjutan dan kemandirian masyarakat adat.

“Jembatan itu bisa dibangun, tapi tetap harus ada regulasi pemerintah yang pro. Bagaimana membangunkan sebuah perspektif regulasi yang lebih memberikan keberpihakan kepada pengembangan ekonomi masyarakat adat. Bukan menempatkan mereka kepada kategori masyarakat marginal, tetapi justru bagaimana kita membangun sebuah paradigma melakukan akselerasi dalam pertumbuhan ekonomi di dalam masyarakat,” tutupnya. (*)