Revitalisasi Jiwa Literasi Santri dalam Mengukir Prestasi dan Mewujudkan Peradaban Bangsa

Barsela24news.com

Oleh: Tgk. Arika Amalia, S.Pd., M.Pd, Ketua DPW ISAD Aceh Barat, Dewan Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Hari Santri bukan sekadar momentum seremonial tahunan saja, dan bukan hanya mengenang kiprah santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Lebih dari itu, momentum Hari Santri menjadi ruang refleksi bagi seluruh elemen santri di berbagai pesantren di seluruh Indonesia untuk meneguhkan kembali peran santri sebagai penggerak peradaban umat dan penjaga nilai-nilai keilmuan.

Dalam konteks kekinian, berbagai dinamika sosial terus tumbuh dalam ruang publik, banyak permasalahan yang muncul dalam masyarakat dan di media sosial. Santri dituntut tidak hanya berani bersuara, tetapi juga mampu berpikir kritis, menulis solutif, dan bertindak secara nyata dalam menyelesaikan setiap permasalahan umat.

Revitalisasi menjadi jiwa sejati dengan mengedepankan literasi adalah kunci utama dalam menjawab tantangan zaman. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan kesadaran untuk memahami realitas, mengkritisinya dengan ilmu, dan mengekspresikan gagasan melalui karya yang mencerahkan umat dalam menghadapi berbagai persoalan. 

Santri harus bijak dalam menghadapi situasi dan kondisi ketika sebagian ruang publik hari ini dipenuhi oleh narasi provokatif dan konsumtif. Santri dengan tradisi tafaqquh fi al-din dan budaya baca kitab memiliki modal kuat untuk menegakkan literasi yang berakar pada nilai moral, rasionalitas, dan spiritualitas.

Dengan semangat “Santri Berani, Ukir Prestasi, Jiwa Literasi Bangun Realisasi”, dayah pesantren ditantang untuk memperkuat budaya intelektual di tengah derasnya arus fitnah di era digital. 

Santri masa kini harus tampil sebagai penulis, peneliti, dan inovator sosial yang menggabungkan kedalaman spiritual dengan ketajaman analisis, melalui gagasan dan pena pikirannya yang bermuara manfaat bagi umat. 

Santri diharapkan mampu mengurai problem kebangsaan dan menebar nilai-nilai kemanusiaan sesuai ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin, tidak saling menindas satu sama lain, tidak saling menyakiti, dan mendiskriminasi antarsesama.

Revitalisasi jiwa literasi santri pada akhirnya bukan hanya tentang meningkatkan prestasi individual saja, tetapi juga tentang membangun realisasi kolektif menuju peradaban bangsa yang beradab dan berpengetahuan. Di tengah perubahan sosial dan tantangan zaman yang makin hari makin rumit, literasi menjadi jembatan penghubung antara masa lalu pesantren yang penuh hikmah dengan masa depan Indonesia yang tercerahkan oleh ilmu dan akhlak.

Suatu hari saya ngopi bersama seorang guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Tgk. Jazuli Abu Bakar, Dosen Ma’had Aly Dayah MUDI Mesjid Raya. Beliau merupakan sosok yang produktif di bidang literasi, pena beliau selalu menyala seakan-akan bahan bakarnya tidak pernah habis. Banyak karya yang telah lahir dari tangan beliau, baik kitab maupun buku-buku dengan berbagai macam pembahasan. Kami sempat berdiskusi tentang membangkit semangat santri untuk terjun dalam dunia literasi. Beliau menyarankan agar para santri ikut andil dalam memperbaiki bangsa dan umat dari berbagai masalah dengan cara terus berkhidmat untuk umat, menekuni bidang yang mumpuni, baik dengan literasi, menulis buku, maupun karya-karya lain yang bermanfaat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Santri juga harus bisa unjuk diri di hadapan masyarakat, berani bersuara dalam membela kebenaran, tidak takut dengan segala ancaman sejauh yang diperjuangkan adalah kebaikan bagi umat. Bukan hanya itu, santri juga harus tegas dalam mengawal dan merawat kehormatan Negara Indonesia agar tidak diruntuhkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dunia kepesantrenan merupakan wadah produksi generasi yang andal, berjiwa tegas dalam menjaga agama, nusa, dan bangsa. Kita harus mampu mempromosikan kelebihan belajar dalam membentuk generasi yang berkarakter baik, berjiwa kebangsaan, dan mencerminkan kebaikan.

Pondok pesantren bukanlah tempat yang suram seperti isu miring yang baru-baru ini berkembang dan viral di platform media sosial. Kekejaman fitnah telah merusak reputasi pondok pesantren dan mencemarkan nama baik para guru dan kiai di berbagai daerah. Isu-isu seperti inilah yang menjadi tantangan baru bagi santri untuk menjadi inovator agar terus semangat dalam mempromosikan kebaikan, melawan kezaliman, dan ketajaman fitnah akhir zaman.

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Sosok muslim sejati yang berakhlak mulia banyak lahir dari rahim pesantren dan pondok-pondok. Mereka siap, dan mampu menyelamatkan umat dari kesesatan.

Mari membuka mata selebar-lebarnya dan menelisik secara mendalam bagaimana santri dididik di pesantren. Mereka diajarkan bagaimana cara bertakwa kepada Allah Swt., mereka juga diajarkan bagaimana cara menghormati guru, orang tua, dan sesama manusia.

Bukan hanya itu, santri juga diajarkan nilai-nilai kedisiplinan mulai dari disiplin menjaga waktu salat, tepat waktu belajar, dan banyak sisi indah lain yang ada di pondok pesantren.

Kenapa orang tua harus memondokkan anak, apa manfaatnya? Pertanyaan seperti ini kerap muncul dalam masyarakat. Orang tua yang memondokkan anaknya di pesantren memiliki banyak keuntungan, terutama tuntasnya kurikulum pendidikan yang dibebankan oleh agama kepada orang tua untuk diajarkan kepada anak. Kini sudah ada guru yang menggantikan perannya, orang tua sudah tidak susah lagi mendisiplinkan waktu anak untuk salat sebab dia sudah terbiasa di pondok. Keuntungan lain, anak yang telah menetap di pondok adalah terbebas dari pengaruh dunia luar seperti pergaulan bebas yang hampir setiap orang tua gagal membentenginya. Bukankah keberhasilan anak adalah harapan setiap orang tua? Maka pondok menjadi solusi dalam mewujudkan kesuksesan anak.

Masih ragukah bahwa lulusan pesantren tidak bisa memperbaiki bangsa ini? Santri memiliki potensi besar untuk ikut andil dalam memperbaiki bangsa. Santri berprestasi, jayakan negeri. Selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025. (*)