Jakarta,- Aksi ratusan ribu massa menuntut Bupati Pati, Jawa Tengah, mundur, Rabu, (13/08/2025), harus menjadi perhatian para kepala daerah untuk berhati-hati membuat kebijakan yang sensitif.
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS Mulyanto menilai kasus ini adalah pelajaran penting bagi pejabat publik dan pemerintah secara umum dalam pengelolaan kebijakan publik yang tidak boleh semena-mena.
“Alih-alih menghasilkan kebijakan yang unggul, aturan publik yang dibuat Bupati Pati mencerminkan kebijakan yang gagal (policy failure),” kata Mulyanto kepada media ini, Kamis (14/7/2025).
Anggota DPR RI periode 2019-2024 ini mengatakan semestinya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang ini, sebelum kebijakan publik diambil, dilakukan musyawarah publik yang luas, untuk menjaring partisipasi masyarakat, agar kebijakan yang akan diambil, mendapat dukungan dan legitimasi sosial yang luas.
Kebijakan publik yang gagal dan menuai penolakan publik biasanya dibuat tanpa proses konsultasi dan partisipasi publik yang memadai. Apalagi bila proses pembentukan kebijakan publik tersebut terkesan tertutup dan elitis, tidak melibatkan masyarakat, tokoh agama, dan DPRD.
“Belum lagi kalau kebijakan publik yang diambil terkesan hanya menguntungkan segelintir orang, baik secara ekonomi maupun pencitraan politik (legacy). Kebijakan menaikkan PBB-P2 secara drastis hingga 250%, tanpa analisis dampak sosial dan kemampuan ekonomi rakyat secara mendalam terkesan menjadi kebijakan yang memeras masyarakat,” jelas Mulyanto.
Rakyat kecil merasa menjadi target kenaikan pajak, karena relatif sulit menolak secara politik, sementara kelompok berpengaruh atau pemilik modal besar dapat melakukan lobi politik.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja, kebijakan seperti itu tentu akan menambah beban hidup masyaraka,” lanjut Mulyanto.
Ia memperkirakan kalau situasi ini yang terjadi, maka biaya pembangunan akan cenderung dipikul pihak yang secara politik kurang berpengaruh (masyarakat kecil). “Ini tentu tidak demokratis,” tegas Mulyanto. (*)