Program MBG Kebijakan tak Berbasis Riset Empirik dan Minim Transparansi

Barsela24news.com
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, 

Jakarta,- Kasus keracunan makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus meluas di berbagai daerah dan kini dicatat sebagai salah satu peristiwa luar biasa dalam sejarah pendidikan Indonesia.

Ribuan siswa menjadi korban, memicu kritik tajam dari masyarakat, akademisi, aktivis pendidikan, hingga organisasi profesi pers. Berdasarkan catatan Badan Gizi Nasional (BGN), sepanjang Januari hingga 25 September 2025 tercatat 70 kasus keamanan pangan dengan total 5.914 korban. Puncak kasus terjadi pada Agustus (1.988 korban) dan September (2.210 korban).

Beberapa daerah yang mengalami kasus terbesar antara lain Bandar Lampung, Lebong (Bengkulu), Bandung Barat (Jawa Barat), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), dan Kulon Progo (DI Yogyakarta).
Namun, alih-alih memberi jawaban substantif, pernyataan pimpinan BGN justru memicu kontroversi baru.

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, menilai program MBG lahir dari kebijakan yang tidak berbasis riset empirik dan minim transparansi. Kebijakan tersebut lebih bersifat top down dan dibentuk di “belakang meja” tanpa melibatkan banyak pihak yang berkompeten.

“Sebelumnya, menurut saya, tidak terdengar ada problem serius soal anak-anak sekolah kelaparan atau pingsan karena tak sarapan pagi. Coba periksa media,” ujarnya kepada media ini, Minggu (28/9/2025).

Sebaliknya, Prof. Djo menilai masih banyak masalah mendasar di dunia pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas, seperti infrastruktur sekolah yang rusak, akses jalan dan jembatan menuju sekolah yang buruk, ketiadaan guru, hingga honor tenaga pengajar yang tidak layak.

“Anak pintar karena guru dan tempat belajar yang nyaman, bukan hanya persoalan gizi,” tegasnya.

Ia juga menyinggung soal fasilitas perpustakaan sekolah yang masih minim koleksi, serta buku-buku yang sudah usang. Dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak memadai, menurutnya, perbaikan gizi seharusnya tidak ditempatkan sebagai prioritas utama dibanding kebutuhan infrastruktur klasik pendidikan.

Evaluasi dan Opsi Kebijakan

Menanggapi kasus luar biasa keracunan makanan yang terjadi di sejumlah daerah, Prof. Djo menyarankan pemerintah segera menghentikan sementara pelaksanaan program MBG dan melakukan evaluasi total.

“Stop dulu. Lakukan evaluasi kebijakan total. Hasilnya nanti bisa berupa modifikasi kebijakan atau bahkan penghentian (terminasi),” kata Prof. Djo.

Jika program tetap dilanjutkan, ia menyarankan modifikasi skema distribusi. Misalnya, bukan dengan membagikan makanan secara massal, melainkan melalui mekanisme kantin sekolah atau pemberian bantuan langsung tunai. “Model kirim ke rekening langsung. Itu lebih efektif,” ujarnya, meskipun ia juga mengakui bahwa potensi kebocoran pada skema subsidi uang tunai tetap perlu diantisipasi.

Prof. Djo menekankan bahwa kebijakan pendidikan harus dirumuskan dengan memperhatikan data lapangan, bukan sekadar asumsi di tingkat pusat.

Menurutnya, persoalan mendasar yang berkaitan dengan kualitas pendidikan, seperti ketersediaan guru, sarana belajar, dan infrastruktur sekolah, seharusnya menjadi pijakan utama dalam merancang kebijakan. “Jangan sampai semangat membantu anak-anak justru menimbulkan masalah baru yang lebih serius,” pungkasnya.

Setiawan Agung Wibowo, anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI), menilai sejak awal ide MBG sudah keliru. Menurutnya, tidak semua anak sekolah membutuhkan bantuan makan.

“Ada yang butuh, tapi jumlahnya kecil. Itu saja yang disasar. Kalau untuk stunting, itu salah. Stunting dicegah sejak ibu hamil, bukan dengan memberi makan anak sekolah,” tegasnya.

Agung menyarankan program dijalankan bertahap dan berbasis riset, misalnya dimulai di lima kabupaten yang benar-benar membutuhkan, lalu diperluas secara terukur setiap tahun.

Ia juga menilai BGN tidak melibatkan ahli gizi secara penuh, sehingga kebijakan terkesan tergesa-gesa. Lebih jauh, ia menegaskan penggunaan anggaran pendidikan untuk MBG melanggar UU Sisdiknas 2003.

Budak Program MBG

Kritik terhadap MBG juga datang dari kalangan guru. Andrimar, S.Pd., M.Pd., CPS, guru SMPN 1 Rambah, Rokan Hulu, Riau, melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.

Dalam suratnya, ia menyebut para guru kini diperlakukan layaknya “budak program”. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga harus membagikan makanan, mengumpulkan rantang, hingga mengganti jika hilang.

Lebih ironis, ada kepala daerah yang mewajibkan guru mencicipi makanan MBG sebelum diserahkan ke siswa. “Jadi kami ini dijadikan apa? Tumbal racun? Tikus laboratorium? Kalau mati, tinggal buang ke tong sampah?” tulis Andrimar.

Ia juga mengkritik alokasi anggaran MBG yang menyedot 44% dana pendidikan dari APBN, padahal mestinya difokuskan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan fasilitas pendidikan. (*)